Mudik selalu punya cerita yang hangat dan reflektif buatku. Seperti halnya cerita mudik tahun ini, alhamdulillah nggak berlalu begitu saja. Kebetulan, ini adalah tahun ketiga aku mudik saat lebaran ke kampung suami. Aku bisa bilang, rasanya makin seru karena anakku sudah menginjak umur 2 tahun, jadi aksinya, akrobatnya, proyeknya, celotehnya sudah lebih beragam. Alhamdulillah.
Kali ini, aku mau cerita tentang interaksi maupun respon dari orangtuaku (mertua) tentang gaya pengasuhan keluarga kecilku.
Saat mudik kemarin, ada yang menarik buatku. Aku melihat bagaimana interaksi bapak dan ibuku (mertua) yang sangat suportif dengan pola pengasuhan kami, baik di rumah dan saat bersilaturahmi ke rumah saudara yang lain. Misalnya seperti, kami punya jadwal makan yang cukup ketat buat anak kami (dia pernah trauma makan, faltering dan masih belajar mengenal rasa lapar, bikin kami nggak punya pilihan lain selain berusaha disiplin soal jam makan dan tata laksana pemberian makan) atau perihal no screen time yang masih diterapkan ke anak kami sampai saat ini.
Misalnya, saat kami sedang berkunjung ke rumah saudara kami yang lain. Ibu nggak segan buat langsung bilang,
"Makasih Mbah, anaknya nggak makan itu."
"Oh, iya, anaknya makan kacang aja, nggak apa-apa."
"Om, itu asap rokoknya tolong dijauhkan, maaf sebelumnya."
Begitu pun dengan bapak. Selama 10 hari kami mudik, tidak pernah bapak menyalakan televisi (walau sebenarnya memang bapak bukan tipe heavy viewer) dan tidak pernah terlihat menggerutu karenanya. Sehingga, seringkali waktu senggangnya digunakan untuk bermain bersama cucu.
Pun dengan ibu dan adikku selama ini. Terutama saat kami harus menitipkan anak kami atau saat ibuku kangen dan ingin anakku main di rumahnya.
"Ini tadi sudah snack time jam 11, dan bobo dari jam 12, ya."
"Tadi dia ikut gue jalan sore, ya."
"Tadi ke rumah tetangga dikasih wafer, tapi yang makan adek kamu akhirnya, dia kan nggak makan."
Silent Appreciation
Tentu ini adalah hal yang aku syukuri tanpa henti, bisa juga dibilang sebuah privilege dengan memiliki orangtua yang suportif. Tapi, juga jadi momen yang buat aku merefleksikan kembali, apakah selama ini sudah memberikan apresiasi yang cukup untuk orang-orang yang selama ini ikut "mengasuh" keluarga kami. Jangan-jangan selama ini, rasa syukur dan apresiasi yang kami rasa hanya menjadi silent appreciation.
Silent appreciation ini bukan term formal atau akademis. Ini adalah term informal yang sering digunakan untuk menggambarkan situasi saat seseorang memiliki perasaan apresiasi, namun tidak diungkapkan baik verbal/non verbal sehingga orang yang diapresiasi tidak mengetahuinya.
Menurutku, menyampaikan apresiasi langsung, dengan bilang "terima kasih" disertai dengan alasan yang jelas mengapa kita berterima kasih itu penting. Untuk memberikan acknowledgment kepada orang-orang yang perlu diapresiasi. Nggak perlu sering, tapi cukup agar mereka tahu bahwa perannya penting.
Jika dikaitkan dengan konteks ceritaku sebelumnya, aku jadi mengingat lagi, bagaimana gaya pengasuhan di masa bapak, ibu dan mamaku sangat berbeda dengan apa yang aku lakukan saat ini. Namun, mereka mau berbesar hati, menurunkan ego, learn, relearn bahkan unlearn hal-hal terkait pengasuhan.
Seperti yang pernah aku lakukan kepada ibuku (kandung), satu malam aku ngobrol dengan ibu. Aku bilang terima kasih sudah mendukung kami, mohon maaf kalau ada banyak hal yang mungkin terlihat ribet, tapi, kami sangat berterima kasih. Perihal kebijaksanaan dan kesabaran dalam mendidik, tentu sosok-sosok merekalah yang menjadi panutanku.
Setelah menjadi ibu, menurutku, kita nggak benar-benar membesarkan anak-anak sendirian, ada "kampung" yang juga ikut membesarkannya. Di luar orangtua sebagai caregiver utama, daycare atau babysitter, ada lingkungan rumah, pertemanan, komunitas, orang-orang yang ditemui di cafe, hingga pemerintah selaku pembuat kebijakan, mereka juga bagian dari kampung yang membesarkan anak-anak.
Penutup
"It takes a village to raise a kid"
Mungkin kamu sudah nggak asing dengan pepatah tadi, ya. "Butuh sekampung untuk membesarkan anak", kalimat yang berarti secara tersirat maupun tersurat. Dan orangtua adalah unit terkecil dari "kampung"-ku. Terima kasih sudah menjadi bagian dari "kampung" yang aman untuk tumbuh.
Aku menuliskan ini sebagai bentuk terima kasih sekaligus apresiasi untuk semua yang telah memberikan dukungannya dengan menghargai keputusan pengasuhan yang dibuat oleh orangtua tanpa memberi penghakiman. Apa yang tertulis di sini, bisa saja banyak dialami orang banyak, namun bisa juga tidak. Walau tidak memiliki pengalaman yang sama, tulisan ini tidak menegasikan pengalaman siapapun.
Salam,
Ibu yang masih belajar,
0 comments