Hari ini aku kesal sama anakku.
Loh, bagaimana ini? Kok yang selama ini bilang sedang mengusahakan gentle parenting itu malah bilang kesal sama anak? Hmm, jadi begini...
Jadi, hari ini aku kesal sama anakku. Alasannya, karena ia menolak tidur siang, lalu saat ditawari makan, ia malah tertidur, dan saat dipindahkan ke tempat tidur, ia malah tantrum. Semua ini terjadi secara konstan selama 2 jam lamanya. Jadi, bisa dibayangkan air kesabaran dalam bejanaku kian menyusut.
Walau akhirnya, dengan semua drama tadi, anakku tetap tidak tidur siang dan tidak makan siang. Buat seorang ibu sepertiku yang masih bergulat dengan target kenaikan berat badan dan tinggi badan bayinya, ini cukup bikin kena mental, sih. Terlebih karena ini sudah terjadi beberapa hari. Tapi, pada akhirnya yang bisa diambil dari drama 2 jam ini adalah, pelajaran perihal konsekuensi.
Si bayi yang belajar kalau tidak makan berarti lapar, karena baru bisa makan lagi di jam makan selanjutnya, yang mana hanya kudapan. Si ibu yang belajar, marah dan kesalnya yang nggak teregulasi dengan baik hanya membuat luka lain di hatinya dan anaknya. Sempat terlintas ketakutan akan muncul trauma baru, tapi, aku percaya, trauma lahir dari luka-luka yang tidak dibasuh.
Sorenya, aku mendapat momen untuk diam dan mengatur nafas selama beberapa waktu, sementara anakku kubiarkan main secara mandiri di dekatku. Selama berdiam diri itu, aku menanyakan beberapa hal ini:
1. Apa yang aku rasakan?
Aku kesal, marah dan merasa bersalah.
2. Apa yang membuatku merasa demikian?
Karena ini nggak sesuai dengan jadwal rutin yang sudah dibuat, ini membuat urutan kegiatanku berantakan sehingga aku tidak bisa olahraga, aku menaruh ekspektasi berlebih pada anakku.
3. Apa yang sudah dilakukan untuk meredakan rasa kesal dan apa yang belum?
Aku sudah berdiam diri, dan mengatur nafasku. Aku sudah bilang ke anakku kalau aku kesal padanya. Aku belum minta maaf dan memeluk anakku. Itu yang paling dekat yang bisa dilakukan. Selanjutnya, aku perlu evaluasi jadwal rutinanku, karena mungkin memang sudah tidak relevan, apalagi ini sudah terjadi beberapa kali. Aku harus komunikasikan ini dengan suami.
Setelahnya, aku ajak anakku yang sedang bermain bicara dulu. Minta maaf, memeluknya, menjelaskan kenapa tadi aku marah, dan bilang besok aku coba lagi buat jadi lebih sabar dengannya. Anakku sudah cukup bisa diajak berkomunikasi, jadi saat aku tanya, apakah dia tau kalau tadi ibunya marah, dia menjawabnya, "Mama tadi kesal", "Soalnya tadi nggak makan dan nggak bobok, jadi nggak bisa makan kurma (snack)", "Nggak boleh pukul-pukul kamar depan, soalnya bapak kerja". Kurang lebih apa yang sudah aku bilang ke dia sebelumnya. Pembicaraan kami ditutup dengan berpelukan dan saling cium.
Apa aku gagal menerapkan gentle parenting?
Nggak, aku nggak bilang aku gagal menerapkan gentle parenting karena aku marah. Keberhasilan dan kegagalan dalam menerapkan sebuah pendekatan pengasuhan bukan didasarkan saat orangtua merasa kesal atau marah. Buatku, kesal atau marah adalah salah dua dari emosi-emosi yang bisa dirasakan manusia, dan sangat normal apabila orangtua merasa demikian. Apalagi, dalam parenthood ini pasti ada titik-titik yang menguji kesabaran.
Beberapa teori yang aku tahu, saat sedang marah, penting untuk bisa menavigasi emosi yang sedang dirasakan. Ambil nafas dalam, mengakui perasaan yang sedang dirasakan, mengetahui trigger-nya, meminta maaf dan jujur dengan apa yang dirasakan ke diri sendiri dan anak (Misal, "Maaf ya, tadi suara mama meninggi, harusnya nggak kayak gini, sebentar, oke ayo coba kita ngomong lagi"), yang mana semua poin tadi lebih gampang kalau ditulis di blog dibandingkan dijalani langsung, wkwk.
Di malam hari, di sela-sela bedtime routine (sikat gigi, baca buku, dan mematikan lampu) aku kembali menyelipkan lagi, obrolan tentang hari ini. Menanyakan lagi, apa yang ia ingat tentang hari ini, tentang kemarahanku (yang surprisingly anak tuh sedetail itu, karena dia bisa ingat sampai ke wording yang kita pilih, ini benar-benar jadi pengingat untukku untuk menjaga kata-kataku), dan kembali meminta maaf. Seraya bilang, "Besok kita coba lagi", sebuah 'mantra' yang selalu aku gunakan sebagai semangat untuk memperbaiki diri.
Penutup
Gentle parenting hanyalah approach atau cara kita menguatkan anak. Selama berjalannya masa parenthood yang baru berumur 3 tahunan(dihitung dari masa kehamilan) ini, keluarga kami masih mencoba terus mengombinasikan pendekatan yang gentle dan authoritative. Bagi kami, pendekatan gentle parenting bukan berarti jadi menekan rasa kesal atau marah terhadap anak, tapi bukan juga melazimkan amarah yang meledak-ledak dan destruktif. Karena bagaimanapun, kesal dan marah adalah bagian dari emosi yang perlu divalidasi.
Dalam perjalanan pengasuhan, aku yakin kita tidak hanya sedang mengasuh anak, tetapi juga sedang mengasuh diri sendiri, berusaha meminimalisir luka sekaligus membasuh luka-luka dari masa lalu. Dari yang aku rasakan, pengasuhan mengajakku belajar lagi tentang regulasi emosi yang sehat dan tidak meninggalkan "sampah" emosi yang menumpuk dan menjadikannya bom waktu.
Dalam pengasuhan, orangtua bisa senang, bangga, lelah, marah, kesal atau tidak merasakan apa-apa. Di semua kondisi itu, anak akan belajar tentang emosi-emosi, dan tentu bagaimana kita menangani setiap emosi-emosi yang muncul.
Dan dalam perjalanan pengasuhan, nggak ada orangtua yang sempurna, yang ada adalah orangtua yang selalu berusaha dan belajar.
Semoga berkenan,
Ibu yang terus belajar,
0 comments