Obrolan Teras
  • Beranda
  • Tentang Teras Saya
  • Self-Growth
    • Tumbuh
    • Ruang Kontemplasi
    • Sudut Pandang
    • English Pages
  • Relationship
    • Marriage Life
    • Motherhood
  • Ulasan
    • Supporting Kit
    • Ibu Baca Buku
    • Cerita dari Layar
  • Kontak

Ruang Kontemplasi

Motherhood

Cerita dari Layar


Human Acts dari Han Kang adalah buku yang aku pilih di akhir bulan Juni, bukunya memang sudah lama ada di TBR-ku. Satu hal yang aku tahu, topik yang diangkat di buku ini yaitu 
pemberontakan Gwangju. 

Sedikit pengantar, tragedi Gwangju merupakan salah satu tragedi kelam dalam sejarah demokrasi Korea Selatan. Pemberontakan terjadi antara kelompok mahasiswa, pelajar dan masyarakat sipil dengan tentara di bawah kepemimpinan Presiden Chun Doo Hwan. Pemerintah Korea Selatan mengklaim korban tewas dari peristiwa tersebut berjumlah 200 orang dengan mayoritas merupakan warga sipil. Namun, para ahli dan sejarawan memperkirakan korbannya sekitar 600-2.300 jiwa. 

Untuk yang suka nonton film, aku rekomendasikan salah satu film berdasarkan cerita nyata dengan latar kejadian pemberontakan Gwangju, A Taxi Driver (2017). Tapi, kali ini kita akan bahas tentang buku dari Han Kang dulu, ya.

Sekarang, saatnya siapkan minuman hangat, camilan, duduk nyaman dan selamat datang di terasku.

Sinopsis

Pada bulan Mei 1980 di Korea Selatan terjadi pergolakan hebat oleh masyarakat Gwangju terhadap rezim diktator Chun Doo Hwan. Cerita dimulai ketika Dong Ho mencari sahabatnya Jeong Dae saat bergabung dalam solidaritas dan kemanusiaan di tengah mencekamnya situasi kantor Pemerintah Daerah Provinsi. 

Alur Human Acts bergerak maju dan menyatu dengan latar situasi yang terjadi saat itu, menghasilkan pengalaman-pengalaman personal dari sudut pandang beberapa tokoh. Setiap babnya menceritakan tentang orang-orang yang menjadi korban kebiadaban rezim. Dari anak-anak yang bisa mewujudkan mimpi-mimpinya karena takdir atas dirinya sudah "diputuskan" oleh tentara, pembredelan dan sensor pada buku dan karya seni, kengerian yang terjadi dalam sel-sel gelap tahanan politik hingga duka yang diemban ibu yang kehilangan buah hatinya. 

Setiap pengalaman yang diceritakan oleh Han Kang dalam novel Human Acts merupakan representasi pengalaman kolektif dari masyarakat Gwangju. Ironisnya bahkan saat rezim berhasil tumbang, trauma yang diemban tak lantas hilang.  

Kesan

Human Acts adalah buku yang berat untuk dibaca, setidaknya untukku. Terlebih mengingat ini diceritakan berdasarkan tragedi bersejarah yang memilukan. Bukan hanya sekali aku berharap apa yang aku baca ini nggak terjadi. Tapi, bahkan Han Kang sendiri muncul di bab terakhir untuk mengonfirmasi kejadian yang terjadi dan bersinggungan dengannya. Sedih sekali rasanya tiap kali sampai di bagian akhir babnya.

Setiap bab menceritakan tokoh yang berbeda yang pernah bersinggungan dengan Dong-Ho. Orang-orang ini adalah sahabat Dong Ho, editor, tahanan politik, pekerja pabrik dan ibu Dong Ho. Bagiku orang-orang yang menjadi pusat cerita di setiap bab ini adalah potret masyarakat Gwangju yang masih terus berjuang untuk bertahan hingga saat ini. 

                                                                

Han Kang mengemas setiap bab dengan sudut pandang yang beragam, beberapa bab menggunakan sudut pandang orang pertama, kedua dan satu bab dengan sudut pandang orang ketiga. Penggunaan sudut pandang orang pertama dan kedua dalam buku ini membuat pengalaman selama dan sesudah tragedi di bulan Mei 1980 itu terasa sangat dekat.

Dampak dari kebrutalan rezim dan aparat tidak hanya dirasakan oleh mereka yang berpulang di masa itu. Salah satu hal yang paling memuakkan buatku adalah bagaimana perlakuan negara terhadap masyarakat yang seolah tidak ada harganya. Bahkan, mereka yang tidak ada sangkut pautnya pun ikut menjadi korban. Sakit sekali rasanya membaca salah satu bagian buku yang menceritakan bahwa korbannya adalah seorang ibu yang tengah hamil besar.


Han Kang menegaskan bagaimana luka masyarakat Gwangju tidak sembuh walau rezim sudah tumbang. Bagi mereka yang selamat, mereka terus hidup dalam survival mode, di mana kebiasaan saat berada di sel secara tidak sadar masih dilakukan, tidur dalam bayang-bayang mimpi buruk penyiksaan, dan ruang kosong yang tercipta setelah ditinggal yang terkasih.

Buku Ini Mungkin Cocok untuk...

Buatku ini buku yang berat karena nuansa kelam yang dibawanya, sepanjang membacanya aku seperti sedang naik rollercoaster yang terus terjun. Ini buku pertama di tahun 2025 yang membuatku menangis sesegukkan. Buat kamu yang menyukai fiksi sejarah, fiksi politik dan literasi sastra, buku ini bisa jadi cocok untuk kamu.

Namun, di luar dari faktor ketertarikan genre, menurutku buku ini penting untuk dibaca. Harapannya, kita bisa lebih sadar akan dampak dari rezim diktator yang berkuasa.

Penutup

Human Acts memberikan perspektif tentang pemberontakan Gwangju yang mencekam, bahkan terornya masih terus hidup dalam diri masyarakat yang bersinggungan dengan tragedi itu, atau bahkan hanya dengan mengingat nama "Gwangju". 

Human Acts adalah kumpulan pengalaman kolektif dari pihak-pihak yang berada di bawah rezim represif, masyarakat yang tak bersalah, media yang dibredel, karya seni yang dibatasi, tahanan politik yang disiksa psikis dan fisiknya, orang-orang yang kehilangan dan mereka yang terus menuntut keadilan.

Human Acts menunjukkan betapa manusia memiliki sisi yang lembut nan rapuh seperti kaca, bisa disatukan dalam nama kemanusiaan dan solidaritas.

Itu tadi kesanku saat membaca Human Acts. Buat kamu yang sudah membaca bukunya, apa yang paling menarik buatmu? Apa yang paling membekas? Buat yang belum baca, tertarik untuk baca? Share di kolom komentar, ya!


Panjang umur perjuangan,





Habis membaca Babel, aku terjebak dalam reading slump! Rasanya susah banget untuk memulai bacaan baru. Akhirnya, suatu hari, secara iseng pula, aku coba baca buku klasik yang dari segi cerita, sepertinya cukup ringan. 

Pilihanku jatuh pada Little Women (1868) oleh Louisa May Alcott. Ini buku yang sudah lama aku simpan setelah aku dapatkan secara gratis di Amazon Kindle. Sebelum membaca, aku pikir, aku sudah cukup kenal jalan ceritanya karena toh sudah pernah menonton versi adaptasi filmnya. Tapi, tentu saja beda media, beda gaya penyampaian, di beberapa hal aku mendapatkan sudut pandang yang berbeda juga. Aku ceritakan lebih detail, ya!

Sinopsis

Bercerita tentang empat bersaudara dari keluarga March di masa perang saudara di Amerika. Saat membaca buku ini, kita akan diajak untuk melihat bagaimana kehidupan keluarga ini saat ayah mereka harus pergi ke medan perang. 

Buku ini banyak mengeksplorasi topik-topik tentang cinta, persaudaraan, keluarga, moral dan pertumbuhan dari empat bersaudara Meg, Jo, Beth dan Amy di tengah kondisi yang serba kekurangan.

Tema

Photo By @msfoxfeather

Buku ini termasuk dalam tema coming of age, karena kita memang diajak untuk melihat kehidupan masa muda hingga menjadi dewasa dan perkembangan karakter dari empat bersaudara ini. Aku suka bagaimana Louisa menceritakan mereka ini sebagai sosok-sosok yang nggak sempurna, yang melakukan kesalahan, namun juga belajar darinya. 

Sosok-sosok yang masih belajar itu terlihat di momen-momen seperti saat Meg berusaha berdandan menjadi seseorang yang bukan jati dirinya. Jo yang harus menerima keputusan Aunt March untuk tetap tinggal dan nggak diajak ke Eropa karena ulahnya sendiri. Beth yang berusaha dan memberanikan dirinya untuk mengucapkan terima kasih secara langsung pada Mr. Laurence. Amy sebagai anak terkecil dalam keluarga mereka yang biasa menerima banyak kemudahan, namun akhirnya berusaha belajar tekun dan mandiri saat harus tinggal di kediaman Aunt March. Bahkan Marmee, sosok bijaksana dalam cerita keluarga March, yang belajar mengendalikan amarahnya. 

Refleksi Personal

Little Women adalah buku yang memberikan rasa nyaman untuk dibaca saat sedang lelah, karena rasa aman yang diberikan dalam keluarga March memang menular ke pembacanya, sehingga membuat siapa saja serasa sedang "dipuk-puk". 

Aku pribadi baru pertama kali membaca buku ini. Di umur yang menuju 30 dan juga sudah punya anak, rasanya seperti menerima surat cinta dari ibu setiap kali sampai di bagian Marmee yang memberikan nasihat-nasihat tentang kehidupan untuk anak-anaknya. Sebagai orang dengan love language berupa words of affirmation, membacanya serasa dipeluk. Namun, di sisi lain, aku jadi berpikir, ternyata buku yang dirilis 150-an tahun yang lalu ini, masih punya nilai-nilai pengasuhan yang relevan untukku.

Buatku ini jadi pengalaman personal yang menghangatkan hati. Koneksi yang dibangun Marmee dengan anak-anaknya kurasa jadi salah satu aspirasiku yang juga seorang ibu untuk anakku. Ini juga mengingatkanku dengan sosok Mama yang kerap menyatakan cintanya lewat makanan. Di setiap momen melelahkan ada makanan yang membuat perut nyaman dan tidur lebih nyenyak. Walau sekadar nasi hangat dan telur ceplok dengan kecap manis. Sebuah bukti, cinta ibu bisa tumbuh dan tersalurkan dalam berbagai bentuk.

Dengan karakter yang beragam, Louisa meninggalkan pertanyaan bagi para pembaca, bagaimana jika perempuan punya ambisi dan ingin melakukan hal-hal di luar peran hasil konstruksi masyarakat di sekitarnya? Sambil menulis bagian ini, aku teringat sosok Jo dan Amy. Jo yang ingin menjadi penulis, sementara Amy ingin menjadi seorang pelukis dan menikahi seseorang yang punya kehidupan yang lebih baik dibandingkan dengan keluarganya. 

Louisa juga menunjukkan sisi lain saat keputusan dan kesiapan itu juga diserahkan pada perempuan untuk memilih. Bahkan saat mereka memilih untuk hidup dan menjalani peran tradisional sebagaimana yang dilakukan Meg dan aspirasi yang diungkapkan Beth, mereka tetap dapat merasakan kebahagiaan. 

Bayangkan, narasi ini dikeluarkan di tahun 186, di tengah masyarakat yang menjunjung nilai-nilai tradisional. Louisa justru hadir dengan perspektif yang progresif tentang kebutuhan perempuan untuk memilih sendiri jalan hidupnya dibandingkan sekadar mengikuti jejak-jejak konvensional. Perempuan bisa memilih misalnya untuk punya ambisi dan passion untuk dikejar dan sama baiknya dengan mereka yang memutuskan untuk melangkah menuju kehidupan pernikahan. Setelah melewati 3 abad, ternyata perempuan saat ini pun masih memperjuangkan apa yang saat itu diperjuangkan anak-anak di keluarga March.

Photo by cinnamoncappucino

Bagian menarik lainnya tentu saja romansa yang dijalin oleh March Sisters ini. Rasanya aku paling tersentuh saat membaca bagian Meg dan John Brooke. Gemas sekali! Lalu tentu saja, Jo dan Laurie. Mungkin, karena aku sudah lebih dulu menonton film Little Women arahan Greta Gerwig (2019), bagian ini sudah nggak lagi membuatku terkejut dan menyayangkannya, ya. Tapi, rasanya seperti mendapatkan closure yang nggak bisa aku tangkap saat menonton film. 

Selanjutnya, Amy dan Laurie. Novelnya menurutku menceritakan perkembangan karakter Amy secara lebih adil. Aku suka sekali perkembangan karakter Amy di novel, dari yang sebelumnya tumbuh sebagai anak terkecil di keluarganya hingga menjadi sosok yang tekun, pembelajar, bisa menempatkan diri dan sisi romansa yang terbangun dengan Laurie pun terasa lebih natural. 

Walau begitu, aku merasakan resonansi yang lebih dekat justru pada Meg. Mungkin juga karena posisinya lebih dekat dengan situasiku saat ini, ya. 

Buku Ini Mungkin Cocok untuk...

Walau buku ini punya genre young adults, menurutku bukunya cocok dibaca siapa saja(mulai 10 tahun ke atas). Setiap kali membacanya kamu akan mendapatkan pengalaman yang berbeda. Bisa jadi, di umur 20 saat membaca kamu akan jatuh cinta dengan sosok Jo dan ambisinya, tapi siapa yang tahu 10 tahun lagi, justru Meg yang terasa paling dekat?

Kalau kamu sedang lelah, butuh nasihat ibu, ingin diberikan afirmasi positif dan mungkin juga baru saja melakukan sebuah kesalahan, saatnya kamu baca buku ini. 

Penutup

Sebagai penutup, aku mau kasih beberapa kutipan dari Marmee di buku Little Women. Hope this kindness always finds us everywhere!


“My Jo, you may say anything to your mother, for it is my greatest happiness and pride to feel that my girls confide in me and know how much I love them.” —Marmee
“Right, Jo. Better be happy old maids than unhappy wives, or unmaidenly girls, running about to find husbands,” —Marmee
“Then let me advise you to take up your little burdens again, for though they seem heavy sometimes, they are good for us, and lighten as we learn to carry them. Work is wholesome, and there is plenty for everyone. It keeps us from ennui and mischief, is good for health and spirits, and gives us a sense of power and independence better than money or fashion.” —Marmee
“Criticism is the best test of such work, for it will show her both unsuspected merits and faults, and help her to do better next time. We are too partial, but the praise and blame of outsiders will prove useful, even if she gets but little money.” —Marmee
Untukmu yang mau membaca buku ini, selamat membaca surat cinta dari Ibu,

Ibu Baca Buku,




Some advice is just so good
that it sticks to our minds, imprints on our hearts, and shapes the way we think and live. Do you ever have that one advice that does those things to you? Well, I do, and I want to share mine with you.

The Advice That Changed My Perspective


I got it from my colleague who became a dear friend. We were in the middle of a conversation about the mundane life of workers, past experiences, and future aspirations until I brought up the topic of career growth. And that's when she said, "Don't settle for less".

In my younger years, I thought that it was a matter of calculating how much of wages a company could pay me or chasing for better financial opportunities. Little did I know, well, it's so much more than that. I mean, that can be included, but there are a lot of factors that we can add to that context as well. 

Deeper Than I Thought


Turns out, to be able to embody "Don't settle for less" in our life means I need to get to know myself better. I need to know what values I hold, my boundaries according to what I can and cannot tolerate, my pride, how I can contribute, and how I want to grow, before making choices that align with my values and potential.

That one thing (can be a job, company, spouse, life decision, partner, etc.) maybe couldn't always serve us laughter, blooming flowers, or butterflies in the park. But surely, it's easier for us to walk through when we believe that them/holding it, could lead us to growth and fulfillment.


A New Playground: Motherhood 


Being a stay-at-home mom myself, makes me think about how to apply "Don't settle for less" when I'm actually not facing some kind of options for a career ladder or promotions opportunity. So to what extent do I could apply "Don't settle for less" in my life especially? Or is it irrelevant now? 

I realized, how my life seems to embrace slow living in a sense of not hustling the 9-5 life. But, lately, I realize, this should not be the reason for not implementing the advice I got years ago. The essence of "Don't Settle for Less" is still relevant. I might live a slower-paced life, but that doesn't stop me from chasing big things in life and striving to grow. 

Now, "Don't Settle for Less" means living my role with intention. It is now finding joy in the mundane life, pushing myself to always learn new things, and nurturing with a passion for learning.

If right now I need to stay at home, I need to do it mindfully, with the spirit of learning. Therefore, I can thrive, not just survive. 'Don't settle for less" turns out applied not only to choosing between available options that we have. It might have as well applied to push ourselves to walk the extra mile. 


Let's Pour It into More Actionable Steps



Here is how I took "Don't Settle for Less" as actionable advice that I intend to do it daily:

  1. Homemade snacks: Making my own homemade snacks for my family gives me a sense of accomplishment and love.
  2. Reading and writing: I read books and any kind of genres, it helps me explore life outside of my house. I challenged myself to write as a form of exhaling the input I got from reading. It gives me a kind of "time out".
  3. Slow hobbies: It's not a new hobby, but playing ukulele and crocheting still brings me joy. 
  4. Time management: Living my day-to-day with time blocking to balance the time I have for myself, my kid, and my husband. Of course, sometimes I screwed up, but at least it didn't get so far.
  5. Mindful parent: Oh, I still struggle every day to do this. But what I've been trying is by playing with my kid mindfully, get myself into whatever the world he imagines. Feel the joy and the connection built during our playtime, bedtime, lunch/breakfast/dinner time. 
  6. Embracing imperfections: Let it be. Let the imperfections happen, for perfection is nowhere to be found. Embrace it. 

For me, "Don't settle for less" is a reminder to strive for growth, that we can always dream bigger every day, and that we can take the extra mile, even if it's a foggy way that you can't even see what's ahead of you.


Now, what about you? Is there any advice that sticks to your mind and shapes your life? I'd love to know your story. Please share yours in the comments below. Let it inspire the world!




Spot di Taman Langsat

After sharing my activities a few times whenever my family and I went to the park, I think it's time to dedicate a post to it.

Before becoming a mom, I was someone who preferred indoor activities like staying at home, visiting friends, or spending time at cafés. I wouldn't call myself an outdoorsy person.

Yet, becoming a mom changed everything. Still a homebody myself, but now, I want to give my baby as many outdoor experiences as possible, and one of the most accessible options for me is going to the park. Strangely enough, I’ve come to like it. No, love it.

A Whole New Perspective

Pepohonan di Taman Puring Jakarta Selatan

I used to think a park was just a park. It was nothing more than a pretty addition to some empty space with environmental intentions. I know, forgive my ignorance.

It took motherhood to make me see it differently. A park, as a public space, should be a safe haven for people to gather, foster a sense of community, support children’s growth, or simply rest.

Now, I see parks as something society genuinely needs. They should be inclusive spaces for everyone. I realize how much public spaces like parks support me as a middle-class mother who doesn’t prioritize visiting exclusive (and often expensive) parks. I never imagined that a public park which developed and maintained by local authorities, could lead me to reflect on how the government supports its people.

For me, parks have become places to expose my baby to the community by showing him the diversity of people with different backgrounds, professions, ages, etc. They’re also my spaces to unwind, refresh my mind after days of house chores, read a few pages, and connect with nature through the trees, the morning breeze, or the sound of birds chirping. A truly well-spent morning.

One More Thing to Unlearn

Spot di Taman Puring Jakarta Selatan

There was a moment when I saw a mother with her newborn at the park. My first thought was, “Why would she bring her baby here? It’s not safe! The pollution, the smokers, the loud noise from sound systems, why?!”

Then, something snapped inside me. A different question arose:

Why can’t she?

Why can’t she visit a place that’s supposed to be inclusive for all?

Why should she worry about smokers in a space where they shouldn’t even be?

Why can’t a public park be her safe space to enjoy fresh air and sunlight with her baby?

At that moment, I realized I wasn’t being fair. That mother deserved to experience the joy of going out with her baby and enjoying the morning breeze. 

But instead of questioning the systems and policies that allow these challenges to persist, it’s easier to blame individuals. It’s easier to judge someone as irresponsible or selfish rather than address the underlying issues that shape their choices.

Wow, this post got political, didn’t it? But then again, what isn’t political? Everything is.





Bulan Maret kemarin rasanya lini masa dipenuhi dengan obrolan seputar When Life Gives You Tangerines (WLGYT). Serial ini katanya memang banyak ditunggu-tunggu oleh para pencinta drakor. Bagaimana tidak? Ada IU dan Park Bo Gum yang mengisi lini pemeran utamanya.

Aku sendiri baru menontonnya di akhir bulan April, dan selama itu juga aku berusaha menghindari segala jenis spoiler yang bertebaran di media sosial. Kesimpulanku setelah selesai menontonnya adalah, ini salah satu serial drama bergenre slice of life yang bagus banget buat ditonton.

Sinopsis

Ae Sun dan Gwan Sik sedang berjalan di ladang bunga canola

WLGYT adalah drakor yang menceritakan tentang perjalanan hidup seorang anak perempuan bernama Ae Sun. Kita akan melihat bagaimana kehidupan Ae Sun sejak ia masih kecil hingga dewasa dan memiliki anaknya sendiri, tentu tidak lepas dari kehidupan dan lingkungan sekitarnya. 

Kehidupan Ae Sun dibagi beberapa babak saat ia masih menjadi anak-anak, remaja, dewasa, hingga menjadi seorang ibu. Ae Sun kecil digambarkan sebagai anak pemberani yang gigih memegang mimpinya. 

Drakor ini menceritakan kehidupan secara umum, hal-hal biasa dan banyak dialami orang-orang. Nggak heran, ceritanya jadi sangat relatable, bahkan di beberapa bagian rasanya seperti melihat kehidupan sendiri yang dijadikan serial drama, haha, sambil ketawa getir. Contoh drakor yang bisa dibilang paling dekat dengan genre yang diusung WLGYT misalnya, Reply 1988. Kamu sudah nonton?

Sinematografi

Ae Sun mengejar Gwan Sik yang meninggalkan Pulau Jeju

Perjalanan hidup seorang anak bernama Ae Sun ini juga divisualisasikan dengan sinematografi yang apik. Nggak hanya memberikan visual yang indah tentang kehidupan di Pulau Jeju, WLGYT juga menjadikan visual sebagai media untuk menggambarkan suasana hati karakternya. Misalnya, lewat visual empat musim untuk menggambarkan perkembangan alur, situasi laut dan badai untuk merepresentasikan suasana hati Ae Sun dan Gwan Sik, dan masih banyak lagi. 

Drakor yang Puitis


Mimpi Ae sun adalah menjadi seorang penyair, cita-citanya konsisten diungkapkan sejak ia masih kecil. Hal yang membuatnya istimewa adalah bagaimana sutradara dan penulis membuat drama ini layaknya rangkaian bait-bait puisi yang menyentuh. A very poetic series. 

Ini adalah beberapa potongan puisi yang sangat menyentuh buat aku,
“I thought that once you grew up, your hands and heart would naturally become calloused. But everything’s still too hot for me. I get burned every day, but it hurts every time. Am I the only fool in the world? Is there anyone else adulting just fine?”-Ae Sun

"This loss is a hole, not one that can be filled, but one I will weave into the fabric of who I will become. You are a flower that bloomed only for a moment, giving a brief scent. I will remember forever." -Ae Sun

"Maybe your love is the only thing in this world that asks for nothing from me. And maybe, just by staying alive, by being here, I am giving more than I realize." - Geum Yeong

 Perjalanan Mimpi Seorang Ibu

Gwang Rye berbicara kepada Ae Sun tentang mimpi

Setiap orang bisa bermimpi, memiliki cita-cita, ambisi dan tujuan-tujuan yang ingin dicapai dalam hidupnya. Kalimat tadi tidak sulit untuk dipahami, dan berlaku untuk siapa saja. Namun, bagi seorang ibu pada umumnya, kalimat itu tidak bisa diaplikasikan sesederhana itu. 

Tidak ingin memukul rata, namun banyak terjadi, terutama di lingkungan yang menganut sistem patriarki. When Life Gives You Tangerines memberikan gambaran bagaimana pada masa itu mimpi-mimpi perempuan dikerdilkan dan pendidikan dikesampingkan. 

When Life Gives You Tangerines seperti angin segar dan memberikan semangat untuk para ibu. Lewat kisah tiga generasi dari Gwang Rye-Ae Sun-Geum Yeong, drakor ini seolah memberikan afirmasi bahwa mimpi-mimpi perempuan bisa terus hidup, tak kenal kadaluarsa dan bisa diwujudkan.

Bagian ini, membuatku kembali merefleksikan kembali perihal mimpi seorang ibu. Sebagai seorang anak perempuan dan juga seorang ibu, aku ingin bilang, sebelum menjadi ibu, kita adalah perempuan, yang memiliki goals, cita-cita, dan ambisi. Jika saat ini rasanya belum tepat waktu untuk wujudkan mimpi, bukan berarti ia menjadi basi. Jika hari ini kita masih punya mimpi yang sama dengan 10-20 tahun lalu, itu bagus. Namun, kalau berbeda pun, tak apa.

Catatan Penting Tentang Patriarki

Ae Sun menghadang mobil

When Life Gives You Tangerines memiliki setting waktu di tahun 1950-an, jadi kebayang, ya, betapa patriarkisnya sistem masyarakat yang berlaku saat itu. Salah satu yang aku highlight perihal ini adalah, bagaimana sistem ini begitu subur di masyarakat dan dilanggengkan pula oleh perempuan. Namun, menurutku, mereka yang melanggengkan adalah mereka yang memiliki trauma(menjadi korban) karena hidup di tengah sistem ini.

Gwang Rye adalah anomali di tengah sistem masyarakat patriarki. Ia ingin anak perempuannya mengejar mimpinya untuk tetap sekolah, masuk ke perguruan tinggi dan jadi penyair, dari pada menjadi seorang haenyo yang setiap hari bertaruh nyawa. Ae Sun melepaskan mimpinya untuk bisa kuliah, namun tidak ingin nasibnya yang harus melayani keluarga suami, karena ekspektasi tradisi, diteruskan oleh anaknya.

"I don’t want her to set the table; I want her to flip the table.” - Ae Sun

Memiliki idealisme untuk menentang sistem adalah sebuah keberanian. Ae sun dan Gwang Rye adalah tokoh revolusioner nan progresif di drama ini. Dengan keteguhan yang dimilikinya, mereka pun tetap memiliki sisi kelembutan seorang ibu. A matriarch that you are! 

Penutup    

Gwang Rye dan Ae Sun

Aku bisa bilang drakor ini kaya akan makna yang terkandung di dalamnya. Beautifully written and magnificently crafted. Nggak heran, drama ini punya skor hampir sempurna di website IMDB dan Rotten Tomatoes. Well deserved! Buatku, When Life Gives You Tangerines adalah salah satu drama terbaik yang aku tonton di tahun 2025.

Ah, lega sekali akhirnya aku bisa menumpahkan kecintaanku dengan drama ini di sini. Buat kamu yang sudah nonton, apa yang membuat kamu terkesan dengan drama ini? Cerita di kolom komentar, yuk!

Ibu yang masih belajar,



Older Posts Home

Tentang Saya

Halo! Terima kasih sudah mampir ke teras saya. Ini adalah teras untuk menepi sejenak dari dunia yang tergesa.

SUBSCRIBE & FOLLOW

POPULAR POSTS

  • Best Advice Before 30? Here is Mine...
  • Little Women: Membaca Surat Cinta dari Ibu
  • When Life Gives You Tangerines (2025): Cerita Tentang Kehidupan dan Cinta Seorang Anak Perempuan
  • Babel: Saat Bahasa Menjadi Senjata Kolonialisme
  • A Warm Morning in the Park

Categories

  • Cerita dari Layar 7
  • English Pages 2
  • Ibu Baca Buku 4
  • Marriage Life 1
  • Motherhood 4
  • Ruang Kontemplasi 6
  • Sudut Pandang 4
  • Tumbuh 3
  • Ulasan 1

Blog Archive

  • ▼  2025 (9)
    • July (1)
    • June (2)
    • May (3)
    • April (2)
    • January (1)
  • ►  2024 (3)
    • November (1)
    • August (2)
  • ►  2022 (6)
    • December (1)
    • August (1)
    • March (1)
    • February (2)
    • January (1)
  • ►  2021 (7)
    • June (2)
    • April (1)
    • March (1)
    • January (3)
  • ►  2020 (5)
    • May (1)
    • March (1)
    • February (3)

Contact Form

Name

Email *

Message *

Powered by Blogger.

Blogger Perempuan

Blogger Perempuan

Designed by OddThemes | Distributed by Gooyaabi Templates