Thursday, February 17, 2022

The Falls: Menangkap Jatuh Bangun Hubungan Ibu dan Anak

 

Tak hanya dalam bentuk jurnal sains, halaman-halaman berita atau ulasan dari berbagai perspektif peneliti, pandemi menahun yang saat ini kita rasakan akhirnya juga akan diabadikan dalam karya-karya seni yang merepresentasi situasi saat ini. Setidaknya, itulah latar yang digunakan Chung Mong-hong dalam film garapannya, “The Falls”.

Sinopsis

 

The Falls (2021) adalah film berlatar pandemi yang bercerita tentang hubungan seorang ibu tunggal—Pin Wen(Alyssa Chia) dan anaknya —Xiao Jing(Gingle Wang) yang masih sekolah. keduanya hidup di sebuah flat yang sedang direnovasi di Taipei. Konflik mulai muncul ketika Xiao Jing harus melakukan isolasi mandiri karena ada teman sekelasnya yang dinyatakan positif Covid-19.

Sebab itulah yang akhirnya memaksa Pin Wen untuk ikut isolasi di flat mereka. Walau selama ini hidup berdua, ternyata kondisi di mana keduanya harus berada di lingkungan yang sama 24/7 akhirnya membawa ke hubungan ibu dan anak yang sama sekali berbeda dari apa yang pernah mereka punya.

 

The Falls bukanlah film drama keluarga yang akan membuat penontonnya menangis tersedu dengan background suara yang dramatis dan mendikte. Seperti film garapan Mong-Hong sebelumnya, A Sun, emosi pada film The Falls dibangun secara perlahan dan dengan memperlihatkan bagaimana mozaik-mozaik kehidupan-kehidupan setiap peran. Namun, untuk saya pribadi, memang ada kalanya di mana emosi yang terbangun tidak kunjung menemukan klimaksnya.


Suasana yang divisualisasikan dengan warna

Seperti yang sudah saya sebutkan sebelumnya, Pin Wen dan Xiao Jing tinggal di sebuah flat yang sedang direnovasi. Situasi ini memaksa para penghuni flat harus hidup dengan “tirai” berwarna biru yang menutupi bagian jendela mereka. Hasilnya sinar matahari tidak bisa masuk ke dalam rumah dan membuat suasana rumah menjadi temaram. 



Situasi ini sejalan dengan pergolakan yang dialami oleh Pin Wen dan Xiao Jing di awal terjadinya konflik di antara keduanya. Mong-Hong memperlihatkan warna dengan tone yang gelap dan dingin, yang sukses membuat penontonnya juga ikut merasakan “sesak” yang dirasakan oleh sepasang ibu dan anak ini.

Seiring dengan berjalannya cerita dan resolusi mulai muncul, tone yang dihadirkan berubah menjadi lebih hangat dengan sentuhan warna kuning, orange dan tentunya lebih banyak sinar matahari yang masuk ke dalam frame.

Secara pribadi, saya memang menyukai film-film yang mengikutsertakan elemen-elemen visual dalam film untuk “tumbuh” bersama ceritanya. Salah satu film yang saya sukai pertumbuhannya adalah film Pieces of A Woman, yang saya ulas juga di blog ini.


Baca Juga: Pieces of a Woman: Perjalanan Perempuan dalam Menghadapi Kehilangan


Membahas isu kesehatan mental

Pada film ini, isu kesehatan mental menjadi salah satu isu yang ditonjolkan. Sisi kehidupan Pin Wen yang bergulat dengan kondisi mental yang ia alami membuat kita ikut merasakan kejanggalan, keresahan, kebingungan, kehilangan hingga akhirnya menemukan jalan sebagai solusi dari masalah kesehatannya. 

 

 


Sayang sekali, kejadian-kejadian yang terjadi pada Pin Wen hanya diceritakan dalam bentuk mozaik-mozaik yang muncul sesekali sehingga saya sendiri kurang dapat “feel” mengenai trigger utama yang menyebabkan Pin Wen mengalami Psikosis. Apakah karena kekhawatiran akan anaknya? Apakah karena perpisahannya? Apakah karena pemotongan gaji di perusahaannya? Atau kah karena suasana temaram yang selama ini ia rasakan di flatnya? Atau malah jangan-jangan semua trigger-trigger inilah yang akhirnya terakumulasi dan menjadi penyebab sakitnya?

Terlepas dari apapun pemicunya, perjalanan Pin Wen dengan kondisi kejiwaannya serta dukungan dari Xiao Jing patut diacungi jempol. Chemistry yang terbangun antara kedua aktris ini begitu menyatu, didukung dengan plot yang mengalir dengan natural. Dalam film ini, kita diperlihatkan bagaimana kesehatan mental dapat terganggu dengan berbagai pemicu, dan dibutuhkan lingkungan yang suportif yang mampu memvalidasi, membersamai dan memberikan ruang aman untuk mereka. 

 

 


Nggak hanya dari sisi Pin Wen saja, tapi kita juga diajak melihat bagaimana orang-orang di sekitar Pin Wen ikut bersama memberikan dukungannya untuk Pin Wen. Dan ini disajikan dengan sangat apik lewat peran Xiao Jing yang berhasil memperlihatkan optimismenya, kecerdasannya, kelelahannya, hingga kebingungannya. Sebuah pengingat bahwa masalah kesehatan mental nggak hanya mempengaruhi satu individu saja tetapi juga banyak orang di sekitarnya.

 

Pandemi sebagai isu sosial yang dibawa sebagai latar cerita

Seperti yang sebelumnya saya sampaikan, pandemi nggak hanya akan didokumentasikan dalam jurnal ilmiah, tetapi juga karya-karya seni, salah satunya adalah film ini. Mong-Hong dapat menangkap situasi pandemi dengan baik.

 

 


Tidak hanya kebiasaan menggunakan masker, tetapi juga hal-hal yang berdampak besar pada kehidupan masyarakat seperti melambatnya laju ekonomi sehingga banyak perusahaan yang harus memangkas gaji karyawan hingga lebih dari setengahnya, kecemasan yang muncul karena berada di tengah situasi yang tak pasti, serta peraturan-peraturan baru yang muncul karena pandemi itu sendiri, misalnya seperti saat Xiao Jing tidak dapat menemui ibunya karena masih berada dalam masa isolasi karena kontak erat saatnya ibunya dirawat di rumah sakit.

Menurut saya, Mong-Hong berhasil menangkap momen pandemi dengan baik, tanpa dramatisir yang berlebihan. Sehingga membuat siapa saja yang menontonnya merasa bisa “relate” dengan apa yang dirasakan setiap tokoh yang ada di dalam film ini.


Akhir kata

The Falls memang film yang menyajikan alur film yang dibangun lambat, namun untuk kamu yang menikmati film drama kehidupan dengan alur seperti ini, saya rasa tidak ada salahnya memasukkan The Falls dalam salah satu daftar tonton. Terlebih, selain hubungan ibu dan anak, The Falls mengajak penontonnya melihat dunia dari kacamata seseorang yang memiliki psikosis, dan tumbuh, jatuh, bangun hingga akhirnya keluar dari masa-masa sulitnya.

 

Salam,



No comments:

Post a Comment