Saturday, August 10, 2024

Catatan Resign: Persiapan dan Pergulatan Mental Setelahnya


Halo! Selamat datang di terasku!

Lama nggak update di halaman ini, beberapa hal yang sangat krusial terjadi dalam hidup aku, salah satunya adalah resign! Beberapa kali mendapat pertanyaan seputar resign dari teman yang sedang mempertimbangkan jalan yang sama, aku jadi ingin “mendokumentasikan” perjalanannya.


Disclaimer

Karena topik ini sangat sensitif, aku mau kasih disclaimer terlebih dahulu, bahwa aku hanya berbagi pengalaman dari apa yang saya jalani, tanpa maksud membandingkan atau mengecilkan pihak manapun. Semua ibu tengah  mengupayakan yang terbaik untuk keluarganya.


Sebelum Terbit Surat Resign

Kehadiran anak cukup jadi momen untuk berpikir ulang setelah bekerja selama kurang lebih 6 tahun. Apalagi 1 tahun lalu mayoritas kantor mulai memberlakukan kembali sistem kerja dari kantor (WFO). Singkat cerita, lewat banyak diskusi dengan support system terbesarku‒suami, berulang kali memberikan “probation” untuk diri sendiri, setelah 1 tahun kembali bekerja formal 9-5, aku memutuskan untuk mengambil momen sabbatical dan resign dari pekerjaanku.


Anak memang jadi alasan utama akhirnya aku mengambil langkah besar ini. Saat itu, berat badannya tidak tumbuh secara optimal. Beberapa penyebabnya seperti infeksi berulang (cacar, batuk, pilek), GTM(pasti ibu-bapak semua paham ya pusingnya fase ini) dan setelah aku resign, aku juga baru sadar kalau ternyata selama ini anakku punya trauma makan dan ada beberapa fokus sensori yang belum maksimal terasah. Semua hal yang aku sebutkan di atas akhirnya menghasilkan 1 implikasi, BB seret selama kurang lebih 4 bulan lamanya. 


2 bulan pertama, kami memang sudah mengikuti anjuran buku KIA, untuk segera melakukan konsultasi dengan dokter spesialis anak. Tapi, qadarullah, sampai bulan ketiga pun masih belum ada “hilal”-nya. Akhirnya, jalan “resign” aku pilih sebagai ikhtiar buat fokus dengan pola makan anakku. 


Resign dengan Persiapan
Minimalisir Gelagapan

Perlu disadari bahwasannya untuk punya pilihan memiliki karier profesional secara formal adalah sebuah privilege atau kemewahan. Ada banyak perempuan yang tidak punya pilihan untuk tetap berada di rumah maupun melanjutkan karir. 


Dalam kasusku, aku sadar akan kemewahan berupa pilihan yang aku miliki itu. Sehingga, ada beberapa hal yang bisa aku persiapkan menjelang momen resign, di antaranya sebagai berikut.


  • Alasan yang matang
Agar alasan yang dimiliki lebih kuat, perlu diuji coba beberapa kali, dipertanyakan dan dikritisi. Setidaknya, itu yang aku lakukan dari pertama kali terlintas ingin resign. Itu sebabnya juga, aku kasih “masa percobaan” selama beberapa waktu untuk melihat apakah alasanku masih valid. Ini pun akan jadi akar-nya, misal di masa-masa lelah(di aku sih ada banget juga lelah mentalnya), aku bisa ingat ini lagi. 

  • Support system
Untuk aku pribadi, yang utama datang dari suamiku. Buka komunikasi seluas-luasnya, bahas segala kemungkinan, apa saja yang dibutuhkan, bagaimana pembagian tugas di rumah nantinya dan bagaimana ia bisa membantu kita melalui masa-masa baru “lulus”. 

Misalnya, sebelum resign aku diskusi tentang gimana menurutku masa “post-power” itu menyeramkan, mungkin aku akan tiba-tiba impulsif, atau bahkan aku akan sangat butuh afirmasi positif agar tetap tervalidasi perasaan dan kebutuhan emosionalku. 

Untuk kasusku, aku juga berkomunikasi dengan orangtua. Sebagai anak sandwich generation, mereka berhak tahu. Namun, komunikasi yang aku lakukan hanya sebatas mengabarkan, bukan meminta izin. Dalam momen itu, sekaligus aku meyakinkan orangtua bahwa urusan finansial tetap aman. 

Namun, aku sadar masih banyak teman-teman yang tidak bisa resign karena tidak diberikan izin oleh orangtua. Untuk kasus ini, aku mohon maaf karena tidak punya cukup pengalaman dan informasi untuk berbagi. 

  • Finansial
Perihal faktor ini juga yang membuat aku sempat mention di awal bagian ini bahwa untuk punya pilihan dalam bekerja itu adalah sebuah kemewahan. Aku nggak bisa langsung resign, karena ada tanggung jawab. Untuk itu, “masa percobaan” ini juga sebenarnya aku gunakan untuk mengumpulkan dana darurat. Ini penting untuk digunakan sebagai bemper agar kita punya “pegangan” saat sudah tidak punya penghasilan. 

Berapa banyak kita harus menyiapkan dana darurat? Di salah satu sumber, memang idealnya apabila kita bisa mengumpulkan 6x-12x total pengeluaran setiap bulannya. Namun, ini kembali lagi pada kesepakatan keluarga. Yang jelas, pastikan kamu sudah dengan baik track seberapa besar pengeluaran rutin bulanan kamu, agar bisa lebih tepat dalam menyiapkan nominal dana darurat dan lebih realistis juga masa pengumpulannya. 

Teh Annisa Steviani pernah membahas seputar Dana Darurat di sini, coba cek deh. 

  • Plan

Sebelum resign aku menyiapkan beberapa hal yang ingin aku lakukan seperti latihan nyetir mobil, ikut kelas digital marketing, ngaktifin blog ini lagi, sampai ke bikin kurikulum pendidikan buat anakku. Walau setelah 2-3 bulan resign, mungkin dari keseluruhan rencana baru berjalan 40%. 

Tapi, karena ada rencana itu tadi, aku bisa punya rujukan lagi. Misal saat tiba-tiba merasa demotivasi, nggak punya hal yang dikejar atau kehilangan diri sendiri karena sibuk memprioritaskan anggota keluarga. Memprioritaskan anggota keluarga adalah hal yang sangat mulia, Bu, tapi mimpi-mimpimu entah mimpi yang dulu atau yang sudah bertransformasi menjadi mimpi baru, perlu dirawat. 

Perjalanan Mental Setelah Resign 

Perubahan rutinitas, lingkungan, orang-orang yang berinteraksi langsung setiap harinya akan sedikit banyak berpengaruh di masa transisi. Ada beberapa hal yang perlu diantisipasi selama masa “jetlag” ini, seperti:

  • Beberapa “nilai” definisinya berubah, sadari bahwa mungkin “produktif” nggak bisa dinilai seperti dulu. Dulu mungkin kita kenal “KPI” atau “OKR”, tapi apakah sekarang itu bisa diterapkan ke diri sendiri? Misalnya, “Anak bisa membaca buku secara independen dalam waktu 2 pekan”, apakah itu bisa diterapkan? 
  • Pasti pernah ‘kan dengar post power syndrome? Sindrom ini umumnya banyak dirasakan oleh para pensiunan. Namun, nggak menutup kemungkinan orang yang “resign” pun merasakannya. Kehilangan gairah hidup, merasa tidak berguna, tidak bernilai, kehilangan pride, dsb. Support system punya peran yang penting buat mengatasi dan menghindari post power syndrome. Salah satu pesan yang suamiku bilang dan terus aku ingat-ingat sampai saat ini, “Kamu tidak didefinisikan dari pekerjaan kamu.” 
  • Perasaan terisolasi juga salah satu hal yang perlu diantisipasi. Kehidupan yang “ramai” dengan berbagai sirkel pertemanan, hingga berada di tengah hiruk-pikuk interaksi dengan orang-orang di jalan menuju kantor pasti jauh berbeda dengan situasi di rumah. 
    Obat dari merasa terisolasi adalah sosialisasi. Maka yang aku lakukan adalah mulai berusaha rutin bertemu dengan teman secara offline, lebih sering ke luar rumah untuk jalan pagi atau sore atau gabung kelas bermain anak. Saran lain yang aku terima tapi belum aku lakukan misalnya, gabung komunitas. Kamu sudah gabung komunitas? Coba share pengalamanmu gabung komunitas, dong, di kolom komentar!
  • Hal yang aku nggak tahu bisa juga muncul ternyata adalah perasaan takut tidak berkembang. Aku pernah merasa mengalami kemunduran setelah resign, namun, setelah berpikir logis, sebenarnya “setelan” pola pikirku saja yang lupa diatur lagi. Growth nggak selalu harus diukur secara linear dari skill yang sudah dimiliki saja. Kita juga bisa bertumbuh dengan meluaskan skill. Oh, setelah resign, baru aku pahami juga, mengatur rumah tangga juga ternyata butuh ilmu dan skill.


Resign bukan seperti euthanasia yang mengakhiri hidup atau mimpi. Seperti hukum kekekalan energi, di mana energi tidak dapat diciptakan maupun dimusnahkan, namun dapat berpindah dari satu bentuk ke bentuk lainnya. Resign memberi kesempatan untuk berhenti sejenak, mengatur kembali tujuan utama, dan hidup dengan bentuk mimpi yang lainnya. 


Aku jadi ingat, sahabatku pernah bilang, kita bisa juga memperlakukan momen resign sebagai momen untuk fokus menyelesaikan “project” (di kasusku pola makan anak), dan setelah terselesaikan, kita bisa kembali merajut jalan karir lagi.


Untuk ibu yang sedang berada di persimpangan, semoga tulisan ini membantu ibu dalam menentukan pilihan. Jangan lupa untuk melibatkan Allah dalam segala keputusan ya, Bu.


Untuk ibu yang masih bekerja secara formal, semangat, Bu, anakmu akan sangat bangga memiliki sosok ibu pekerja keras dan penyayang itu.


Apapun statusnya, semua ibu adalah full-time Mom :)




No comments:

Post a Comment