Lama nggak update di halaman ini, beberapa hal yang sangat krusial terjadi dalam hidup aku, salah satunya adalah resign! Beberapa kali mendapat pertanyaan seputar resign dari teman yang sedang mempertimbangkan jalan yang sama, aku jadi ingin “mendokumentasikan” perjalanannya.
Disclaimer
Karena topik ini sangat sensitif, aku mau kasih disclaimer terlebih dahulu, bahwa aku hanya berbagi pengalaman dari apa yang saya jalani, tanpa maksud membandingkan atau mengecilkan pihak manapun. Semua ibu tengah mengupayakan yang terbaik untuk keluarganya.
Sebelum Terbit Surat Resign
Kehadiran anak cukup jadi momen untuk berpikir ulang setelah bekerja selama kurang lebih 6 tahun. Apalagi 1 tahun lalu mayoritas kantor mulai memberlakukan kembali sistem kerja dari kantor (WFO). Singkat cerita, lewat banyak diskusi dengan support system terbesarku‒suami, berulang kali memberikan “probation” untuk diri sendiri, setelah 1 tahun kembali bekerja formal 9-5, aku memutuskan untuk mengambil momen sabbatical dan resign dari pekerjaanku.
Anak memang jadi alasan utama akhirnya aku mengambil langkah besar ini. Saat itu, berat badannya tidak tumbuh secara optimal. Beberapa penyebabnya seperti infeksi berulang (cacar, batuk, pilek), GTM(pasti ibu-bapak semua paham ya pusingnya fase ini) dan setelah aku resign, aku juga baru sadar kalau ternyata selama ini anakku punya trauma makan dan ada beberapa fokus sensori yang belum maksimal terasah. Semua hal yang aku sebutkan di atas akhirnya menghasilkan 1 implikasi, BB seret selama kurang lebih 4 bulan lamanya.
2 bulan pertama, kami memang sudah mengikuti anjuran buku KIA, untuk segera melakukan konsultasi dengan dokter spesialis anak. Tapi, qadarullah, sampai bulan ketiga pun masih belum ada “hilal”-nya. Akhirnya, jalan “resign” aku pilih sebagai ikhtiar buat fokus dengan pola makan anakku.
Resign dengan PersiapanMinimalisir Gelagapan
Perlu disadari bahwasannya untuk punya pilihan memiliki karier profesional secara formal adalah sebuah privilege atau kemewahan. Ada banyak perempuan yang tidak punya pilihan untuk tetap berada di rumah maupun melanjutkan karir.
Dalam kasusku, aku sadar akan kemewahan berupa pilihan yang aku miliki itu. Sehingga, ada beberapa hal yang bisa aku persiapkan menjelang momen resign, di antaranya sebagai berikut.
- Alasan yang matang
- Support system
- Finansial
- Plan
Perjalanan Mental Setelah Resign
Perubahan rutinitas, lingkungan, orang-orang yang berinteraksi langsung setiap harinya akan sedikit banyak berpengaruh di masa transisi. Ada beberapa hal yang perlu diantisipasi selama masa “jetlag” ini, seperti:
- Beberapa “nilai” definisinya berubah, sadari bahwa mungkin “produktif” nggak bisa dinilai seperti dulu. Dulu mungkin kita kenal “KPI” atau “OKR”, tapi apakah sekarang itu bisa diterapkan ke diri sendiri? Misalnya, “Anak bisa membaca buku secara independen dalam waktu 2 pekan”, apakah itu bisa diterapkan?
- Pasti pernah ‘kan dengar post power syndrome? Sindrom ini umumnya banyak dirasakan oleh para pensiunan. Namun, nggak menutup kemungkinan orang yang “resign” pun merasakannya. Kehilangan gairah hidup, merasa tidak berguna, tidak bernilai, kehilangan pride, dsb. Support system punya peran yang penting buat mengatasi dan menghindari post power syndrome. Salah satu pesan yang suamiku bilang dan terus aku ingat-ingat sampai saat ini, “Kamu tidak didefinisikan dari pekerjaan kamu.”
- Perasaan terisolasi juga salah satu hal yang perlu diantisipasi. Kehidupan yang “ramai” dengan berbagai sirkel pertemanan, hingga berada di tengah hiruk-pikuk interaksi dengan orang-orang di jalan menuju kantor pasti jauh berbeda dengan situasi di rumah.Obat dari merasa terisolasi adalah sosialisasi. Maka yang aku lakukan adalah mulai berusaha rutin bertemu dengan teman secara offline, lebih sering ke luar rumah untuk jalan pagi atau sore atau gabung kelas bermain anak. Saran lain yang aku terima tapi belum aku lakukan misalnya, gabung komunitas. Kamu sudah gabung komunitas? Coba share pengalamanmu gabung komunitas, dong, di kolom komentar!
- Hal yang aku nggak tahu bisa juga muncul ternyata adalah perasaan takut tidak berkembang. Aku pernah merasa mengalami kemunduran setelah resign, namun, setelah berpikir logis, sebenarnya “setelan” pola pikirku saja yang lupa diatur lagi. Growth nggak selalu harus diukur secara linear dari skill yang sudah dimiliki saja. Kita juga bisa bertumbuh dengan meluaskan skill. Oh, setelah resign, baru aku pahami juga, mengatur rumah tangga juga ternyata butuh ilmu dan skill.
Resign bukan seperti euthanasia yang mengakhiri hidup atau mimpi. Seperti hukum kekekalan energi, di mana energi tidak dapat diciptakan maupun dimusnahkan, namun dapat berpindah dari satu bentuk ke bentuk lainnya. Resign memberi kesempatan untuk berhenti sejenak, mengatur kembali tujuan utama, dan hidup dengan bentuk mimpi yang lainnya.
Aku jadi ingat, sahabatku pernah bilang, kita bisa juga memperlakukan momen resign sebagai momen untuk fokus menyelesaikan “project” (di kasusku pola makan anak), dan setelah terselesaikan, kita bisa kembali merajut jalan karir lagi.
Untuk ibu yang sedang berada di persimpangan, semoga tulisan ini membantu ibu dalam menentukan pilihan. Jangan lupa untuk melibatkan Allah dalam segala keputusan ya, Bu.
Untuk ibu yang masih bekerja secara formal, semangat, Bu, anakmu akan sangat bangga memiliki sosok ibu pekerja keras dan penyayang itu.
Apapun statusnya, semua ibu adalah full-time Mom :)
No comments:
Post a Comment