Wednesday, April 21, 2021

Menua Seperti Senja


Apa sih yang dipikirkan saat melihat langit sore yang semburat berwarna jingga, merah menyala terkadang magenta yang megah? Jujur saja, dulu saya sering berpikir langit sore adalah salah satu cara penghiburan Allah terhadap jiwa-jiwa yang lelah. Momen berharga saat hati membuncah, setelah didera tugas dan pulang ke rumah.

Saat melihat senja apa sih yang dipikirkan? Apakah mereka yang banyak dipanggil "anak indie" yang mendengarkan musik yang dirilis secara independen dengan lirik lagu yang magis dan puitis hingga bringas dan cadas? Sebuah stereotip yang terlanjur merebak, padahal nggak selalu begitu.

Di hari ke-12 di Jogja, saya melihat langit sore di bulan April, semburat warna oranye di sawah lapang depan rumah keluarga. Di saat yang sama ada hal indah dan menghangatkan yang menyusup ke dalam hati, anehnya rasanya seperti sedang memetik buah hasil refleksi dari beberapa hari terakhir. 

Sebelumnya seringkali melihat langit sore dari atas ketinggian lantai 19 atau di tengah kemacetan menuju rumah. Saat itu yang terpikir di pikiran adalah "Oh, ini hari dengan senja yang indah". Setelah menghabiskan beberapa waktu dengan orangtua, saya jadi berpikir, senja memang benar-benar waktu yang pas untuk menggambarkan orang yang menua, semakin bijak, indah, ingin selalu direngkuh, tapi cepat menghilang (ya walau kita sebenarnya tidak pernah tahu siapa yang benar-benar ada di penghujung usia).

Sore ini saat melihat langit menjelang waktu magrib, aku menyelipkan doa, "Ya Allah, aku ingin menua begini, indah, nyaman, dan nggak sendirian. Aku ingin menua begini, dinanti banyak orang. Aku juga ingin menua begini, semarak namun jauh dari kebisingan. Ya Allah, Aku mau menua seperti senja"




2 comments: