Wednesday, March 31, 2021

Tabula Rasa: Saat Makanan Punya "Rasa" Lainnya

imdb.com

Rasanya memang sangat terlambat kalau saya baru menuliskan tentang film ini, saat ini. Walau Tabula Rasa sudah dirilis sejak 2014 silam, saya nggak menyesal baru menontonnya sekarang, karena setidaknya saya tidak melewatkan film Indonesia yang dikemas apik dan sangat humanis ini. Apalagi kemarin adalah Hari Film Nasional, saya jadi semakin semangat untuk bikin tulisan tentang film ini (iya, harusnya ini akan lebih tepat jika diposting kemarin, hehe).

SINOPSIS

Film yang disutradarai oleh Adriyanto Dewo ini bercerita tentang seorang pemuda asal Papua bernama Hans (Jimmy Kobogau) yang ditawari pergi ke Jawa untuk berkarir sebagai seorang pemain bola. Naas, nasib sial justru menjumpainya, kakinya cedera dan ia tak bisa bermain bola lagi. Lalu ia bertemu dengan sosok Mak (Dewi Irawan), seorang pemilik rumah makan Padang yang menemukannya tak sadarkan diri di jembatan penyebrangan. Atas kebaikan hati Mak, ia diajak ke rumah makan Padang milik Mak, dan makan di sana. Di tengah rasa putus asanya, bersama Mak, Hans menemukan keahliannya yang lain, memasak.


PREMIS SEDERHANA DENGAN PENDEKATAN YANG NGGAK BIASA

Source: Youtube/MuvilaTrailerID

Premisnya sederhana, seorang pemuda dengan mimpi dan ambisi, pergi jauh dari rumah untuk mewujudkannya. Di tengah jalan ia mendapatkan kesulitan-kesulitan dan di sanalah ia banyak belajar tentang arti kehidupan. Saat dibaca lagi mungkin ini terasa biasa saja, tapi Tabula Rasa berhasil membuat premis yang sederhana ini menjadi bernyawa dengan memilih pendekatan yang unik, makanan.

Makanan tidak digambarkan sebagai media yang memiliki nilai filosofis yang dijelaskan dengan dialog-dialog yang terdengar "edgy" dan "ndakik-ndakik". Nggak membawa teori-teori dari sisi akademis, Tabula Rasa justru membawa makanan dalam tataran yang lebih membumi dan dekat dengan nilai-nilai budaya Indonesia. Teknik membuat rendang diikuti dengan menjelaskan syair tentang cara pembuatannya, metode memilih bahan makanan juga dijelaskan dengan sangat halus tanpa nada menggurui. 


MINIM BUMBU, KAYA "RASA"

Source: Youtube/MuvilaTrailerID

Salah satu hal yang membuat Tabula Rasa menjadi terasa dekat dengan kita yaitu karena film ini berhasil menyelipkan entah itu etos kedaerahan, peribahasa, dan tentu saja rasa kekeluargaan secara natural. Bahkan hingga munculnya konflik, cara Parmanto (Yayu A.W. Unru) menyelesaikannya pun nggak membuat para penonton merasa sedang diceramahi.

Keempat tokoh yaitu Hans, Mak, Natsir dan Parmanto memiliki karakter yang solid dan humanis. Keempatnya punya karakter yang sangat berbeda namun dapat berjalan beriringan dengan apik bahkan untuk Natsir yang terlihat sangat penurut dan terlihat inferior dibanding ketiga tokoh lainnya. 

Source: Youtube/MuvilaTrailerID

Sesekali ada juga ungkapan-ungkapan satir yang dilontarkan, tentang kenapa sih kita masih saja impor bawang padahal bawang dalam negeri kualitasnya jauh lebih baik? Atau candaan Hans dan Natsir (Ozzol Ramdan) yang mungkin agak terdengar rasis tapi ditanggapi dengan canda dan tawa, apa kita mulai kehilangan selera humor dan menjadi terlalu kaku? Atau kita memang sudah mulai mawas diri dengan candaan-candaan tak patut yang seharusnya berhenti ditertawakan dan sudah semestinya dihilangkan saja?


[SPOILER]

Source: Youtube/MuvilaTrailerID

Tabula Rasa menyajikan visual-visual makanan yang cantik dan menggugah selera. Nggak hanya presentasi makanan di meja makanannya saja, proses pembuatannya juga terbilang artistik dan unik apalagi dengan adanya alat-alat tradisional yang digunakan untuk memasak. 

Menonton Tabula Rasa juga bikin saya kangen rumah, ada beberapa scene yang menunjukkan lukisan atau lanskap kampung halaman. Sebenarnya ini juga mengingatkan saya tentang di manapun kita tumbuh, kampung halaman adalah salah satu bagian penting yang membentuk siapa kita hari ini. 

Source: Youtube/MuvilaTrailerID

Tabula Rasa mengakhiri film dengan adegan Hans yang keluar dari Rumah Makan Takana Juo. Meninggalkan akhir yang terbuka bagi setiap penonton untuk mengartikan, apa maksud dari scene ini. Bagian ini ternyata nggak sesederhana dengan seperti apa yang saya bayangkan sebelumnya.

Dilansir dari Liputan6.com, dalam sebuah wawancara dengan produser Lifelike Pictures saat ditanya tentang adegan penutup film Tabula Rasa, perempuan yang akrab dipanggil Lala ini menjelaskan bahwa adegan itu menegaskan Hans sudah menemukan tujuan barunya.

Dalam wawancara tersebut Lala mengungkapkan bahwa itu adalah gaya orang Papua. "Orang Papua itu kalau pergi ke luar rumah selalu satu sisi, kanan terus atau kiri terus. Di film, Hans tadinya selalu ambil jalan ke kanan terus, tapi di akhir film ia ambil jalan ke kiri. Itu simbolis. Artinya, dia sudah siap mengambil jalan hidup baru," ujar Lala. 

Akhir kata, menonton Tabula Rasa membuat saya merasa pulang ke rumah, lalu belajar masak sama Mama. Dan Tabula Rasa juga mengingatkan saya kalau satu cita-cita tumbang, bukan berarti kita jadi nggak punya peluang.


Terima kasih Tabula Rasa yang dengan sederhana menghangatkan hati saya,





1 comment: