Days at The Morisaki Bookshop: Menjalani Kehidupan yang Biasa Saja di Toko Buku
Mungkin, kamu sudah nggak asing dengan judul buku ini, Days at The Morisaki Bookshop, karya Satoshi Yagisawa. Terbit di tahun 2023, buku ini menyita banyak perhatian pembaca internasional. Ulasan buku ini selalu berlalu lalang di lini masa media sosial saya. Akhirnya dapat juga kesempatan untuk baca buku ini. Jadi, aku mau coba cerita bagaimana impression aku selama membaca buku ini.
Sinopsis
Ceritanya tentang seorang perempuan berumur 25 tahun bernama Takako yang sedang menikmati hidupnya yang tentram, namun semua berubah saat tunangannya, Hideaki, mengatakan kalau ia akan menikah dengan wanita lain. Di situlah kemudian Takako mulai kehilangan pekerjaannya, teman-temannya, relasinya. Ia mengalami masa yang sulit sampai ia bertemu dengan pamannya yang dulu pernah sangat dekat dengannya, Satoru.
Satoru meminta Takako untuk bekerja di toko buku peninggalan ayahnya. Dari sanalah Takako mulai menata kembali hidupnya, menemukan kembali semangatnya, passion-nya terhadap aktivitas membaca dan melepaskan apa-apa yang selama ini sudah membebaninya.
Setelah baca sinopsisnya, aku tertarik banget buat tahu gimana perjalanan healing Takako di toko buku paman Satoru.
Kesan
Ternyata ini slice of life yang ibarat kalau film, rasanya kayak kita lagi nonton film Hirokazu Kore-eda, dibayanganku kayak nonton Our Little Sister. Konfliknya ada, nggak menggebu-gebu, tapi tetep enjoyable dan calm saat baca ini. Ditambah mungkin aku habis baca novel 1984 karya George Orwell yang suasananya lebih depressing, baca ini rasanya jadi kayak healing.
Terus, aku suka gimana buku ini menceritakan tentang bagimana Takako menemukan minatnya sama membaca, lebih jauh lagi, minatnya terhadap hal-hal yang ada di sekelilingnya. Selama baca buku ini juga, jadinya ingat sama angan-angan lama, "Aduh, gimana ya rasanya kalau kita tinggal di dalam toko buku?" Selain itu, karena buku ini juga, aku jadi buka obrolan sama suamiku, “Buku pertama apa yang kamu baca yang bikin kamu suka baca?”
Sayangnya, menurutku karakterisasi dari Takako, Satoru, Momoko terasa kurang mendalam, sehingga di bagian 2 pun penyelesaian konfliknya jadi terasa kurang mengena. Tapi, di sisi lain, dengan genre slice of life yang diusung, bisa jadi penulis ingin memberikan ruang yang memang nggak bisa diketahui oleh pembaca. Seperti kita yang nggak pernah benar-benar tahu kedalaman karakter, apa, kenapa dan bagaimana sesuatu terjadi kepada seseorang, 'kan?
Hal menarik lainnya adalah, bagaimana Satoshi juga mengambil angle industri buku secondhand di Jimbocho, Tokyo, Jepang. Saat baca buku ini, aku juga sambil coba "jalan-jalan online" di daerah sana, dan ya ampun, rasanya jadi makin masuk ke dunia Takako dan Paman Satoru.
Buku Ini Mungkin Cocok untuk...
Menurutku, buku ini cocok untuk kamu yang suka cerita-cerita slice of life, di mana fokus utama ceritanya ada pada kejadian-kejadian yang biasa ditemui setiap hari. Selain pencinta film-film Hirokazu Kore-eda, untuk kamu yang menikmati serial TV Midnight Diner mungkin juga akan menyukai novel ini. Selain itu, buku ini juga menurutku cukup tipis, hanya 160 halaman. Jadi, cocok untuk jadi "santapan" akhir pekanmu.
Penutup
Selama membaca, menurutku novel ini nggak dimaksudkan untuk jadi novel yang dramatis atau depressing. Ini adalah novel slice of life yang berisi hal-hal mundane kayak kehidupan kita. Ada masanya kita merasakan kesedihan, kebahagiaan yang hangat namun tidak bergejolak, nggak punya motivasi, bertemu dengan orang-orang asing, dll. Atau saat-saat di mana fase hidup sedang ada di kondisi yang nggak baik-baik aja, tapi tetap harus dijalani, karena toh tetap bisa menemukan orang-orang baik, tetap bisa ketemu kelakar-kelakar aneh dari orang-orang sekitar.
Selamat membaca!
Ibu baca buku,
0 comments