Unsplash/Valentina Conde |
Beberapa waktu lalu aku ngobrol sama salah seorang teman, dia kakak kelasku waktu SMA dulu. Ngobrol sama dia selali membuatku bersemangat dan perbincangannya pun selalu membangun. Obrolannya berawal dari story-nya yang membahas tentang Identitas Perempuan, sambil membagikan satu postingan ini.
Source: Instagram |
Menarik bagaimana selama ini perempuan selalu didorong untuk punya identitas yang kuat dan berdaya. Tapi, masih saja ada narasi yang membuat "berdaya" hanya terbatas dari satu sektor saja, misalnya perempuan yang berdaya dinilai dari bagaimana ia bisa menghasilkan materi. Bagaimana keberdayaan perempuan selalu disangkut pautkan dengan seberapa mampu perempuan dalam menghasilkan Rupiah demi Rupiah. Tapi, apa berdaya memang demikian?
Jadi ingat, di bulan-bulan awal pernikahan, pernah berdiskusi dengan suami tentang jalan karir ke depannya. Dari sebelum kami menikah, aku sudah bilang bahwa aku punya cita-cita untuk berhenti bekerja 9AM-5PM di umur 30-an.
Ya, namanya juga harapan, diutarakan saja dulu, siapa tahu bisa kejadian. Walau di tengah rasa harap ini, sebenarnya ada ketakutan juga yang menghantui. Muncul deh pertanyaan, “Tapi, kalau nanti aku udah nggak kerja, terus aku gimana? Aku bakal tetap bisa keep up nggak? Aku bakal bisa produktif nggak?” Jawab suami saat itu, "Terus? Kamu kan nggak dinilai dari apa profesi kamu,” katanya santai. Nyess banget rasanya mendengar itu. Oh iya ya, kenapa aku malah khawatir nantinya aku nggak bisa berperan apa-apa hanya karena aku nggak bekerja. Satu rasa insecure sudah berhasil dicoret hari itu. Lalu apa hubungannya dengan rasa berdaya? Karena dengan atau tanpa pekerjaan yang menghasilkan nilai ekonomi, kita tetap bisa punya kesempatan untuk berdaya, kok.
Source: Unsplash/AmyHumphries |
Rasa berdaya ini juga seringkali dinarasikan pada kasus-kasus seperti, “ibu yang ditinggal bapak, lalu ibu bisa tetap survive dan anak-anaknya bisa sekolah sampai perguruan tinggi", hal ini juga disebut berdaya, Mamaku pun melakukannya. Namun, yang sering kali tidak terlihat, Ibu atau perempuan dalam kondisi tersebut tidak hanya berdaya dari sisi finansialnya saja agar bisa survive untuk mendidik dan mempertahankan keluarganya. Ada berdaya secara emosional, berdaya manajemen waktu, berdaya keilmuan, dan masih banyak lagi termasuk juga tentu saja, berdaya finansial.
Berdaya finansial adalah salah satu spektrum yang akan berguna secara langsung pada kasus-kasus tertentu, tapi apakah berdaya secara finansial adalah kunci dari segalanya? Menurutku, belum tentu. Karena mungkin saja kan berdaya finansial tapi tidak berdaya dalam kontrol nafsu konsumtifnya, tidak berdaya dalam finansial tapi berdaya dalam kontrol emosi, kurang berdaya dalam finansial tapi berdaya dalam menjaga prinsip dan resolusi-konflik keluarga, dan sebagainya.
Source: Unsplash/Hobi Industri |
Jadi, saat bicara soal perempuan berdaya, tidak bisa hanya dilihat dari berapa Rupiah yang dihasilkan, bagaimana kemampuan dalam menghasilkan uang apabila tidak ada peran pasangan atau dukungan dari keluarga. Berdaya adalah sesuatu yang bisa kita definisikan ulang seiring dengan fase kehidupan mana yang sedang kita jalani, dan tujuan apa yang ingin kita capai. Definisi berdaya setiap orang juga bisa berbeda-beda tergantung dengan tujuan, latar belakang, sejarah bahkan trauma masing-masing. Jadi, jika menemukan definisi berdaya yang berbeda dengan orang lain sebenarnya sah-sah saja, sih, menurutku.
Jadi, wahai diriku di umur 30-an, 40-an, 50-an,
Semoga kamu ingat tulisan ini, jadi jika memang ada masanya dirimu tak lagi menjalani peran sebagai mana kamu di umur 20-an, jika ternyata kamu ada di masa merasa insecure, pastikan kamu sudah melihat ulang peran apa yang kamu jalani saat ini, apa definisi berdayamu, dan apa tujuan yang ingin kamu capai ya, Nin. Agar dirimu selalu merasa aman bahkan dari pikiranmu sendiri.
Aku di umur 20-an,
No comments:
Post a Comment