Thursday, December 1, 2022

Lapis-Lapis Strategi Jadi Generasi Sandwich

Unsplash/Suea Sivilaisith

Roti Lapis atau yang umum disebut “sandwich" mungkin akan diartikan sebagai mana namanya beberapa tahun yang lalu. Namun, saat ini kata “sandwich” jadi erat maknanya dengan sebutan untuk generasi orang dewasa yang harus menanggung hidup 3 generasi yaitu orang tuanya, diri sendiri, dan anaknya.

Ibarat roti lapis, generasi sandwich adalah daging, sayuran, saus, keju, yang dihimpit oleh dua buah roti di bagian atas dan di bawah sebagai representasi dari orangtua dan juga generasi setelahnya.

Kali ini, aku mau cerita soal menjadi salah satu di antara banyak orang yang termasuk ke dalam sandwich generation. Namun, karena aku sadar betapa kompleksnya urusan sandwich generation ini di lapangan, sebelumnya aku mau kasih disclaimer dulu nih.

Disclaimer: Aku sendiri adalah karyawan tetap untuk perusahaan swasta, anak dari seorang ibu single parent yang bisa kubilang beliau bukan tipe orangtua yang menuntut ini-itu dariku. Therefore, I’m aware that I’m privileged for this.

Jadi bagian dari sandwich generation memang nggak bisa dibilang mudah, kadang ya ketemu juga titik frustrasinya, tapi bukan juga dead end street yang nggak bisa lagi diotak-atik. Untuk itu, menurutku butuh strategi, baik secara finansial yang juga diikuti dengan pola pikir kita. Untuk itu, kali ini, aku mau merangkum apa saja lapis-lapis strategi yang aku lakukan sejak tahun pertama aku bekerja hingga sekarang menginjak tahun keempat (menuju kelima)ku menjadi buruh korporat.

1. Bikin pos-pos kebutuhan bulanan dan pengeluaran tiap gajian

Biasanya aku akan mulai coret-coret buku catatan keuangan atau google sheet untuk mulai bikin financial plan mengenai budget bulan depan sehari sebelum hari gajian. Kamu bisa pakai rumus 50/30/20 atau 40/30/20/10 untuk budgeting. Aku sendiri menggunakan skema 40/30/20/10 di mana 40 persen untuk kebutuhan (keluarga, pendidikan adik, cicilan), 30 persen untuk hiburan/entertainment/upgrade diri, 20 persen untuk dibagi ke tabungan dan dana darurat dan 10 persen untuk dana sosial, termasuk di dalamnya zakat dan dana sosial lainnya.

Awalnya aku hanya terbiasa untuk buat tracker untuk budgeting saja, tapi setelah menikah, aku mulai belajar untuk lebih detail lagi dalam mengatur finansialku, salah satunya dengan mulai tracking pengeluaran yang aku lakukan bahkan hingga nominal Rp2000. Ini ternyata cukup membantu saat aku akan melakukan budgeting di bulan berikutnya, karena aku jadi tahu pos-pos mana saja yang sebenarnya perlu alokasi lebih besar atau perlu dievaluasi pengeluarannya.

2. Selalu berusaha menyisihkan dana darurat

Jujur, menyisihkan dana daurat itu salah satu hal yang bikin aku mikir, “ngapain juga gue nyisihin uang segini, mending buat dioptimalin ke yang lain”. Tapi pikiran itu berubah saat tiba-tiba ibu jatuh sakit, dan perlu penanganan cepat. Alhasil ke RS dan nggak pakai asuransi apapun. Setelah tentunya lega karena ibu tertangani dengan baik, cukup kaget melihat tagihannya, tapi tetap bilang “nggak apa-apa” ke nyokap. Di situ aku sadar, “untung udah nabung dana darurat, jadi nggak perlu nerabas kebutuhan yang lain”. Di situ aku mulai sadar sih, buat seminimalnya mengumpulkan Rp100 ribu untuk keperluan darurat.

3. Punya asuransi kesehatan seminimalnya BPJS

Sebenarnya ini juga masih nyambung dengan poin sebelumnya. Aku jadi sadar biaya kesehatan tuh ternyata semahal itu ya. Ibu yang waktu itu belum selesai urusan BPJS-nya, langsung diurus untuk pindah faskes 1-nya sampai tuntas, jadi sewaktu-waktu terjadi apa-apa, asuransi dari pemerintah ini bisa digunakan.

Di luar sistemnya yang masih perlu banyak perbaikan di sana-sini, tapi BPJS sudah membantuku banyak terutama dalam hal menjaga kesehatan ibuku sih. Dan asuransi ini memang tergolong yang paling murah dibandingkan dengan asuransi swasta lainnya (sejauh yang aku tahu sampai saat ini). Makanya kubilang, ini adalah asuransi minimal yang paling tidak perlu banget kamu pertimbangkan untuk dimiliki kamu, orangtuamu dan juga anak dan suami/istrimu. Minusnya, harus lebih sabar karena birokrasinya jadi lebih panjang karena apalagi untuk akses ke dokter spesialis yang belum tersedia di fasilitas kesehatan pertama, sehingga harus minta rujukan dulu untuk bisa dialihkan ke fasilitas kesehatan seperti rumah sakit terdekat.

4. Ada dua pilihan: Perbesar sumber penghasilan atau perbanyak sumber penghasilan

Tentu pernah juga mengalami momen di mana penghasilan yang kali didapat nggak bisa memenuhi kebutuhan. Boro-boro menabung, budget untuk hiburan sebagai pelipur keringat yang diperas sebulan kadang juga dilibas. Kalau sudah begini, pilihannya ada dua, perbesar sumber penghasilan atau perbanyak sumber penghasilannya. Sekilas mungkin hampir mirip, tapi maksudku begini.

  • Perbesar sumber penghasilan bisa dilakukan dengan memastikan pekerjaan yang dimiliki memberikan nominal income yang lebih besar. Atau kalau memang sudah punya pekerjaan peluang akan promosi juga bisa ditanyakan. Tapi, ya sebelum menanyakan akan peluang untuk promosi, pastikan juga kompetensi diri yang mumpuni atau kita tahu lah skill apa saja yang perlu ditingkatkan untuk memantaskan diri berada di jenjang yang dituju.
  • Perbanyak sumber penghasilan bisa dilakukan dengan hustling melakukan side job atau kerjaan sampingan. Malah nggak jarang pekerjaan sampingan ini justru membawa penghasilan yang lebih banyak dari pekerjaan utama. Bisa mulai dengan menjadi freelancer yang menawarkan jasa, dropship di marketplace, dan sebagainya. Aku termasuk yang melakukan jalur ini dengan menjadi ghost writer untuk beberapa brands. Cons-nya: Tentu saja waktu bekerja akan jadi lebih panjang haha karena entah akan memakan waktu after office hours atau ya akan memakan waktu weekend. Tapi ya ingat lagi saja apa tujuannya, it will be paid off (selama memang masih mengunutngkan dari segi waktu dan income-nya).

Untuk bagian ini, ketahui apa, bagaimana, atau kapan definisi “cukup”-mu. Karena kalau nggak, mungkin kita malah jadi hidup diuber-uber kerjaan sampai di titik nggak bisa menikmati apa yang kita kerjakan.

5. Jangan lupa kamu berhak menikmati hasil jerih payahmu

Sisihkan walau hanya sepersekian penghasilanmu untuk membeli barang/pengalaman untuk kamu sebagai tanda bahwa kamu sudah bekerja keras bulan itu. Ya walau tetap dengan syarat ya, harus sesuai dengan budget. Selain itu, ya pastikan untuk nggak membandingkan diri sendiri dengan yang lain karena the ugly truth is we didn’t start from the very same “start line”. Dengan memastikan kebutuhan kita juga terpenuhi kurasa akan lebih mudah untuk nggak menyalahkan orangtua yang keputusan finansialnya kala itu ternyata punya imbas yang seperti ini ke anaknya. Karena sudah “happy”, jadi lebih mudah juga buat kita fokus sama tujuan.

Nah, itu tadi beberapa hal yang pernah dan masih aku lakukan sampai sekarang selama menjalani peran ini. Kadang rasanya berat, dan sungguh permasalahan sandwich ini kompleks sekali karena kaitannya bahkan nggak hanya sama finansial saja, tapi juga mindset(nggak hanya anaknya aja, tapi mindset orangtua, keluarga besar, hingga masyarakat), kultur atau budaya, kondisi ekonomi mikro hingga makro, dan banyak lagi. 

Tapi, kalau kamu ada di posisi ini bukan berarti ini akhir dari segalanya kok. Semangat ya!




No comments:

Post a Comment