Monday, May 4, 2020

Hal-Hal yang Ternyata Bisa Saya Nikmati Saat Pandemi

Balik ke hobi lama agar tetap waras


Nggak biasanya bikin judul postingan sepanjang ini, tapi ya mari kita coba.

Tulisan ini pertama kali dibuat di tanggal 4 Mei 2020, dini hari pukul satu pagi. Hari kesekian harus menetap di rumah karena pandemik yang belum ada tanda-tanda akan berakhir dalam waktu dekat. Saya sendiri sudah mulai bekerja dari rumah sejak tanggal 17 Maret 2020, berarti kurang lebih sudah satu setengah bulan lamanya saya harus beraktivitas dari rumah saat tulisan ini dibuat.

Pandemi ini sudah membawa saya, kamu, beberapa dari kita ke banyak situasi, mental state, bahkan hingga ke perubahan kebiasaan yang mungkin selama ini belum pernah kita pikirkan bisa kita lakukan. Sambil menulis saya mau mengingat-ngingat lagi, saya sudah melalui apa saja ya selama satu setengah bulan ini?



Cemas yang bikin sesak napas

Di minggu pertama saya bekerja dari rumah, saya merasa terus dihantui dengan berbagai kemungkinan saya bisa jadi carrier virus untuk keluarga saya. Ditambah saya tinggal dengan ibu yang punya penyakit bawaan. Bahkan saya sempat ngotot untuk memisahkan alat makan saya sendiri dengan ibu dan adik. Jadi orang super higienis sampai nggak tau seberapa sering saya cuci tangan dalam satu jam, sampai saya sempat mendapat kulit tangan saya yang mengelupas saking keringnya.

Nggak hanya sampai di sana, sebagai pengguna media sosial yang aktif, banjir informasi tentang coronavirus ini bikin saya nggak bisa mengolahnya dengan baik, bukannya berenang, saya malah tenggelam. Segala informasi saat itu tentang angka-angka yang terus meningkat tajam, kabar mengenai nakes yang kekurangan APD atau bagaimana virus ini bekerja justru bikin saya panik dan cemas. Dari situ saya jadi sering gemetar, sesak napas, sakit kepala dan beberapa kali asam lambung yang naik. Apa ini ya yang namanya psikosomatis?

Untuk hal yang satu itu, akhirnya saya memutuskan buat kontrol  “keran informasi”-nya. “Mute “ beberapa kata kunci tentang corona di media sosial yang paling sering saya akses ternyata cukup berhasil buat saya dan bikin tingkat kecemasan saya semakin berkurang. Ini juga didukung dengan keberadaan support system aka teman-teman saya sih. Di titik ini saya sangat bersyukur punya mereka.

Karantina/Kerja di rumah, antara privilese dan pertaruhan kewarasan

Apa banget subjudulnya hehe.

Sebelum memulai bagian ini, saya mau mengucapkan rasa salut untuk mereka yang ternyata tetap harus bekerja/beraktivitas di luar rumah. Sebelum menulis bagian ini, saya sadar bahwa untuk tetap berada di rumah, menyelesaikan pekerjaan dari rumah adalah sebuah privilese yang nggak bisa didapatkan oleh banyak orang. Tanpa mengurangi rasa hormat kepada mereka yang berjuang di luar rumah, mungkin bagian ini hanya dapat meliputi mereka yang beraktivitas di dan dari rumah.

Dua atau tiga tahun silam, saya dikenalkan dengan konsep “bekerja dari mana saja” a la startup masa kini atau a la anak muda zaman sekarang. Konsep ini dikenalkan sebagai konsep bekerja yang fleksibel, bisa dilakukan di mana saja, kapan saja tanpa mengharuskan seseorang pergi ke kantor. Dua atau tiga tahun yang lalu, konsep ini terdengar menyenangkan, sangat “tech-savvy” dan futuristik.

Voila! Di awal tahun 2020 kita semua, dipaksa untuk mengerjakan urusan kantor dari rumah kurang lebih satu setengah sampai dua bulan ini hingga batas waktu yang masih tentatif mengingat Pemerintah masih terus meng-update tanggal PSBB. Saya pribadi merasa tidak terlalu bermasalah dengan aturan baru yang mengharuskan kita untuk bekerja dari rumah. Ini justru bisa membuat saya lebih produktif karena ternyata justru banyak to-do-list yang saya tuntaskan dalam satu hari. Ada beberapa teman saya juga yang ternyata seperti ini. Tapi makhluk bumi kan bukan orang-orang seperti kami saja. Beberapa teman saya yang lain mulai menceritakan bagaimana stresnya mereka untuk tetap berada di rumah dengan kegiatan yang menurutnya monoton atau merasa kebutuhan untuk berinteraksi yang tidak bisa terpenuhi karena merasa komunikasi secara virtual bukanlah cara berkomunikasi yang nyata.

Di sini saya merasa, kekhawatiran tentang kesehatan mulai berganti menjadi kekhawatiran tentang kewarasan. Teman-teman maupun saya mulai mencari cara untuk menjaga kewarasan kami dengan cara masing-masing. Ada yang bermain “kuis” interaktif di media sosial agar tetap bisa berinteraksi dengan teman-temannya, mengadakan virtual breakfast/lunch/dinner untuk mereka yang terbiasa makan dengan teman, memasak, melakukan livestreaming dan sebagainya.

Jika saya melihat begitu banyak orang yang memposting beberapa informasi makanan favorit hingga ukuran sepatu di media sosial beberapa bulan lalu sebelum pandemi, mungkin saya akan mengernyitkan dahi. Tapi hari ini, hal itu terasa normal dan saya mulai bisa memahaminya sebagai ‘Mungkin itu “coping mechanism”-nya’, dari sini saya justru bisa jadi berinteraksi dengan orang itu bahkan melakukan hal yang sama, hal yang nggak saya sangka bisa saya nikmati, memposting hal yang sama mengenai beberapa informasi tentang hal-hal yang saya suka di media sosial.

Kemarin saya diajak ngobrol sama teman saya di Podcast Gita Yolanda. Kami bahas soal hal-hal yang sudah kami lakukan selama pandemi, untuk menjaga pikiran agar tetap waras. Salah satu teman saya menjawab ia sudah keluar masuk kelas-kelas online di Webinar. Bahkan ke kelas online yang membahas soal pertanian. Teman saya yang lainnya, yang sebelumnya tidak menyukai interaksi lewat telepon atau video call kini jadi sering melakukannya untuk memenuhi kebutuhan dalam bersosialisasi. Teman saya yang lainnya, cara untuk menjaga kewarasannya adalah tetap membeli kuota agar tetap bisa melakukan zoom call atau nonton drama Korea A World of Married Couple. Saya sendiri mulai menginstall aplikasi Duolingo untuk belajar bahasa Jerman dan Korea, ikut kelas online tentang product yang bahas soal consumer behavior yang berubah selama pandemi , memasak makanan-makanan kekinian atau apa yang mungkin bisa dimakan lah, bahkan kembali ke hobi lama saya, merajut. Selain hal-hal yang saya dan teman-teman saya lakukan ini, pasti akan lebih banyak lagi orang-orang yang melakukan aktivitas-aktivitas yang mungkin selama ini nggak pernah terpikirkan tapi ternyata bisa kita nikmati juga prosesnya. Ya misalnya seperti menata meses di roti atau menghitung biji wijen di onde-onde.

Saat ini, entah di rumah atau di dalam rumah semua orang memang menghadapi risikonya masing-masing. Mereka yang di luar rumah harus menghadapi risiko terpapar virus, sementara yang di dalam rumah juga nggak bebas dari risiko stres hingga depresi jika tidak menemukan coping mechanism yang baik. Tanpa saling cela, saat ini memang sebaiknya kita saling dukung dan saling jaga.

Penerimaan yang membawa ketenangan

Waktu ngobrol kemarin ada yang menarik dari apa yang disampaikan Gita di bagian akhir. Kurang lebih dia bilang gini, “apa yang terjadi saat ini bukan salah kita, jadi berusaha menerima aja.” Ini sedikit banyak mengingatkan saya dengan konsep Stoisisme yang disampaikan Om Henry Manampiring di buku Filosofi Teras, di bagian awal mengenai nilai-nilai Stoisisme tentang apa yang bisa kita kendalikan dan yang nggak. Wabah ini salah satu hal yang nggak bisa kendalikan, tapi kita bisa kendalikan gimana respon kita terhadap hal ini. Ini sih yang akhirnya membuat saya bisa agak tenang dan mengurangi rasa kecemasan saya di minggu-minggu awal pandemik ini “sampai” di Indonesia.

Momen di rumah aja ini bagi saya, sedikit banyak bikin saya berpikir tentang hal-hal yang selama ini luput. Bahkan “berkenalan” dengan diri sendiri karena ternyata ada hal-hal yang nggak pernah saya sangka bisa saya nikmati, seperti kerja sambil dengerin ibu saya curhat tentang apa saja.

Selama di rumah juga saya jadi bisa lihat detail-detail yang selama ini saya lewatkan. Kayak gimana adik saya kalau belajar, gimana Mama saya kalau mau beli sayur, gimana ada rak di rumah yang harus segera diperbaiki, hal-hal yang biasanya luput dari pandangan saya. Ini sebenarnya bisa jadi menyenangkan sekaligus bikin pusing sih hahaha.

Tapi pada akhirnya, saya ikut kata Gita, ini semua tentang penerimaan. Terima kalau ini bukan salah kita, terima dengan situasi yang seperti, terima untuk siap melakukan hal yang mungkin bisa kita lakukan dari luar atau dari dalam rumah. Walau mungkin, buat beberapa orang, ini juga soal perjuangan, untuk bertahan, untuk menyelamatkan, untuk mengatur, dan untuk-untuk lainnya. Semua punya perannya masing-masing.

Buat saya, penerimaan juga berarti saya sadar betul bahwa merasa produktif itu bukan suatu keharusan. Saya bisa memilih untuk tidak produktif sama sekali, memberi jeda sejenak dari apa yang ingin saya capai, leyeh-leyeh barang sejenak. Karena di momen seperti ini, mungkin yang paling saya butuhkan bukan menunjukkan betapa produktifnya saya tapi lebih kepada gimana kewarasan saya bisa senantiasa terjaga.

Yang paling ingin saya lakukan setelah pandemi berakhir

Selain cek kolesterol dan cek minus mata saya, saya ingin naik Transjakarta sendirian, mendengarkan beberapa lagu yang baru pertama kali saya dengar selama saya di rumah saja. Karena saat saya mendengarkan, saya merasa lagu-lagu itu cocok banget buat didengerin di perjalanan di Transjakarta. Kalau selama di rumah saja saya rehat dengan cara mematikan lampu kamar dan menonton film atau series, nanti saat pandemi ini berakhir, saya ingin merasakan rehat dengan cara saya yang dulu; naik Transjakarta, mendengarkan lagu-lagu di playlist ini, diam atau tertidur sambil bersandar ke kaca, atau membaca buku di Transjakarta. Hal-hal yang biasanya saya umpati karena jam kedatangan yang lama, situasi bus yang sudah penuh sesak, tapi ternyata bisa saya rindukan.




Stay healthy, stay sane!



No comments:

Post a Comment