Saturday, February 8, 2020

Bahagia Itu (Tidak) Sederhana

Terhitung kurang lebih 5 bulan sudah saya pulang. Setelah bingung-bingung bertanya apa itu “pulang”, akhirnya saya memutuskan, untuk saat ini, definisi “pulang” adalah berada di tempat di mana ibu dan adik tinggal. Sebenarnya nggak bisa janji juga definisi ini akan bertahan lama, nanti pada saatnya pasti akan berubah lagi.

5 bulan ini mulai merasakan lagi naik turunnya “bianglala” seperti dulu, kata Ibu, ini pernah dirasakan Ayah. 5 Bulan ini saya belajar, tapi sepertinya masih banyak yang remedial, tanda harus mengambil ulang beberapa SKS, sampai nanti lulus dan dapat hasil yang memuaskan.


Kali ini, saya mau “ngecipris” tentang kebahagiaan, biar tidak lupa untuk bahagia. Beberapa hari yang lalu, tepat saat sedang bersiap ke kantor menjalani rutinitas seperti biasa, tiba-tiba otak saya diganggu pertanyaan, “Emang bahagia itu sederhana?” Iya, pertanyaannya seperti itu, terus berulang sampai saat sarapan pun saya masih memikirkannya. Cukup sebal sih, kalau ada hal-hal yang tiba-tiba minta perhatian buat dipikirin kayak gini, padahal mungkin sebenarnya nggak penting-penting banget. Tapi, sebenarnya saya cukup bersyukur sih, soalnya masih punya waktu buat memikirkannya waktu itu.

“Emang bahagia itu sederhana?"



Pasti kamu udah sering mendengar ungkapan “Bahagia itu sederhana.” Biasanya ungkapan ini akan muncul saat seseorang merasakan suatu nikmat yang berasal dari suatu hal yang selama ini dianggap sebagai hal kecil.

“bahagia itu sederhana, seperti saat kamu berkumpul dengan keluarga misalnya”
“bahagia sederhana, seperti saat kamu dapat semangat dari sahabat misalnya”
“bahagia itu sederhana, seperti saat kamu dapat senyuman dari orang asing misalnya”

Pagi itu, pikiran saya menolak setuju dengan ungkapan “bahagia itu sederhana.”

Allah dan alam semesta punya caranya sendiri dalam membuat kita berada di dalam suatu proses yang kompleks yang akhirnya membuat kita bisa merasakan kebahagiaan. Kesempatan untuk merasa bahagia dari segala jenis proses yang dilalui ini, yang nggak bisa dirasakan sama semaua orang.

Kalau memang bahagia itu sederhana, apakah kita sudah merasa bahagia saat bisa membedakan kiri dan kanan? Apa kita sudah merasa bahagia saat bisa menjalani rutinitas yang selama ini terlihat membosankan? Kalau memang suatu hal itu sederhana, bukankah seharusnya hal itu juga menjadi sumber kebahagiaan? Atau jangan-jangan karena hal ini sudah terlalu biasa dan melekat dalam diri, kita juga jadi lupa menganggap ini sebagai sumber kebahagiaan juga?

Otak pendekku ini berpikir, jangan-jangan selama ini kita dikelabuhi, kita secara tanpa sadar mengukur kebahagiaan secara materiil lewat suatu hal yang bisa dirasakan dari segi fisiknya, diukur nilai besarannya, atau bahkan memang karena kitanya aja yang nggak peka dalam menyadari kebahagiaan-kebahagiaan di sekitar kita.

“Bahagia itu sederhana, bisa berkumpul dengan keluarga misalnya” tapi dikatakan oleh seorang perantau yang waktu pulangnya mungkin 1 hingga 2 tahun sekali, maka berkumpul dengan keluarga bukan suatu hal yang sederhana. Jangan lupakan proses rumit yang bisa mengantarkan diri duduk bersebelahan dengan keluarga.

“Bahagia itu sederhana, dapet snack sebagai penyemangat dari teman” dikatakan oleh dia yang selama ini diacuhkan. Butuh banyak tahap yang dilewati hingga bisa mengantarkan snack murah itu sampai ke mejamu, sobat. Kebahagiaan yang didapat itu, bukanlah kebahagiaan yang sederhana.

Pagi itu aku mulai berpikir, jika ada suatu hal yang bisa membuatku bahagia, maka hal itu bukan hal yang sederhana. Pasti ada proses-proses yang terjadi hasil konspirasi Allah dan alam semesta hingga menghadirkan suatu proses, dan yang pasti mengizinkan aku untuk merasakannya.

Mungkin suatu hal bisa dianggap sederhana bisa jadi karena selama ini kita nggak sadar, kalau kita mulai menaruh besaran nilai untuk hal-hal yang sifatnya melekat dalam diri, yang sifatnya dekat, atau biasa kita lihat. Atau memang kita yang mulai suka menyederhanakan nilai dari sebuah proses?

Jadi ingat pepatah yang sering muncul di buku Sekolah Dasar,
"Gajah di pelupuk mata tak tampak, kuman di seberang pulau tampak"
Ya, walau pepatah tadi konteksnya untuk kesalahan seseorang sih, tapi masih relevan juga untuk jadi perumpamaan dalam menggambarkan bagaimana saya atau mungkin kamu dalam memahami konsep bahagia dan mensyukurinya selama ini.

Tulisan ini ditulis di blog saya sebelum Obrolan Teras.

Jangan lupa bahagia,

No comments:

Post a Comment